Rabu, 03 Agustus 2016

#16 Apa itu Duel?

(sebelumnya #15)


Aku terbangun. Kulihat ke sekelilingku mencoba mengetahui aku ada dimana. Ternyata aku terbaring di dalam sebuah tenda yang sepertinya kamar salah seorang pekerja sirkus keliling. Kepalaku masih terasa sakit. Ulu hatiku juga masih terasa sakit.
“Syukurlah kamu sudah siuman”, kata seorang cewek (pemudi) yang duduk di sampingku.
“Rumahmu dimana, Dik? Atau nomor teleponmu berapa? Biar kuhubungi keluargamu”, kata seorang pria (laki-laki) yang sepertinya pemilik kamar yang kupakai tersebut.
Akupun menyebutkan nomor telepon rumahku.
“Biar saya yang menelepon ke rumahnya dari telepon umum Pak, sekalian pamit mau pulang karena sudah malam. Terima kasih atas bantuannya Pak”, kata cewek tersebut sambil melangkah akan keluar ruangan.
“Tunggu...kamu siapa?”, tanyaku penasaran dengan suara pelan karena masih lemas.
“Tenang saja, kita masih akan bertemu lagi”, jawabnya sambil tersenyum kemudian keluar meninggalkan kami.

Setelah itu aku tertidur. Aku bahkan kurang begitu sadar ketika dijemput ayah dan dipapah sampai ke tempat tidurku di rumah.
Keesokan harinya ketika aku bangun terdengar suara ayah dan ibu di ruang tengah diluar kamarku seperti sedang berdebat tentang sesuatu. Ketika aku keluar dari kamar, ayah dan ibu tiba-tiba menghentikan perdebatannya.
“Ya, kamu sudah merasa baikan? kalau masih sakit berbaring saja di tempat tidur”, kata ibu seakan mengalihkan pembicaraan.
“Sudah mendingan bu”, kataku sambil duduk di meja makan bersama mereka.
“Oiya, makanlah biar tenagamu segera pulih”, kata ibu sambil mengambilkan makanan ke piringku. Kami pun makan bersama.
“Aku telah mendegar secara singkat dari orang sirkus yang menolongmu, katanya kamu berkelahi ya?”, tanya ayah.
“Maafkan aku yah. Sebenarnya sudah 3 kali ini aku berkelahi”, jawabku. Aku lalu menceritakan perkelahianku dengan ketua kelasku, dengan murid-murid SMA 8 dan yang tadi malam di sirkus. Aku juga menceritakan penyebab terjadinya perkelahian sehingga aku menceritakan juga tentang Mawar.
“Yang pertama dan kedua tidak masalah karena kamu membela diri. Yang ayah ingin tahu lebih lanjut yang tadi malam”, kata ayah memotong ceritaku. Akupun kemudian menceritakan detil perkelahian tadi malam, termasuk kata-kata lawanku yang aku tidak paham maksudnya.
“Kamu masih ingat gerakan lawanmu itu? Coba tunjukkan ke ayah”, kata ayah sambil mengajak berdiri.
“Entar saja lah Yah, kan Arya masih belum sehat betul. Lagipula baru juga habis makan”, kata ibu melarang ayah. Akhirnya ayah duduk kembali.
“Yah, silat itu apa sih? kalau duel itu apa?”, tanyaku penasaran. Ayah dan ibu saling berpandangan.
“Yang kupahami, silat (beladiri) adalah olahraga berupa gerakan-gerakan tubuh untuk bertarung dengan orang lain. Sedangkan duel adalah pertarungan satu lawan satu. Tapi aku merasa yang dimaksud lawanku tadi malam tidak seperti itu”, kataku lebih lanjut sambil menunggu jawaban ayah. Ibu menghela napas kemudian mengangguk seperti memberi isyarat ke ayah.
“Tadi sebelum kamu bangun ayah dan ibu sedang membahas apakah sudah waktunya menceritakan padamu. Berhubung sekarang kamu bertanya tentang itu, jadi akan ayah ceritakan”, kata ayah mengawali ceritanya.
Ayah kemudian menjelaskan dengan panjang lebar. Aku tidak ingat detil perkataan ayah. Yang kupahami dari penjelasan ayah tersebut kurang lebih adalah sebagai berikut.
Silat atau ilmu silat (beladiri atau martial arts) adalah kemampuan seseorang bertarung untuk mengalahkan atau bahkan melumpuhkan orang lain baik dengan tangan kosong (hanya menggunakan anggota tubuh) maupun dengan menggunakan senjata, jadi tidak semata-mata untuk membela diri (self defense). Sudah menjadi insting manusia untuk bertarung dengan orang lain, baik dengan tujuan untuk mengalahkan dan menguasai orang lain maupun dengan tujuan membela diri atau melindungi orang dari orang lain. Dulu pada jaman masih terjadi perebutan kekuasaan dengan perang dan pertarungan, kemampuan seseorang dalam bertarung bisa menentukan status sosial seseorang. Orang bisa berkuasa dan ditakuti karena mengalahkan dan memperbudak orang lain. Di sisi lain ada juga orang yang dihormati dan disegani karena melindungi orang lain. Pada saat itu banyak terjadi pertarungan sehingga banyak yang belajar ilmu silat (beladiri). Seiring dengan perkembangan jaman, dimana kemampuan bertarung tidak lagi terlalu berpengaruh dalam status sosial, semakin berkurang orang yang belajar silat (beladiri). Selain itu dengan adanya hukum dan pemerintahan, orang tidak bisa lagi sewenang-wenang menyakiti orang lain.
(penyadur: berdasarkan penjelasan di atas, mungkin tidak ada istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat yang bisa dipakai untuk mewakili pengertian yang dimaksud tersebut. Karena istilah yang ada dalam bahasa Indonesia adalah beladiri dan istilah yang biasa dipakai dalam cerita adalah silat maka untuk penulisan ulang jurnal ini istilah yang dipakai adalah silat, ilmu silat, atau beladiri)
Akhirnya ilmu silat (beladiri) berkembang menjadi olahraga dan seni dimana pertarungannya dibatasi dengan aturan-aturan untuk mengurangi risiko cedera sekecil mungkin dan kemenangannya ditentukan oleh wasit (pihak ketiga). Namun masih ada orang yang belajar silat (beladiri) yang masih ingin bertarung mengadu kemampuan secara bebas tanpa dibatasi aturan dan waktu dimana kemenangan ditentukan dengan kemampuan melumpuhkan lawan sampai menyerah atau tidak sanggup melawan lagi. Agar tidak berurusan dengan hukum, maka dibuatlah aturan duel dimana pertarungan satu lawan satu harus dengan persetujuan kedua belah pihak disaksikan orang lain dimana jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti terluka parah atau bahkan meninggal, pihak yang bertarung atau kerabatnya tidak menuntut secara hukum.
“Jadi, sudah paham kan apa itu silat dan duel?”, tanya ayah kepadaku setelah menjelaskan secara panjang. Aku hanya mengangguk.
“Jadi menurutmu perkelahianmu tadi malam duel apa bukan?”, tanya ayah. Aku menggeleng pelan karena aku masih ragu-ragu apakah perkelahianku tadi malam termasuk duel atau tidak.
“Itu bukan duel, karena kamu belum mengerti apa itu duel dan akibatnya (konsekuensinya)”, kata ayah. “Karena itulah ayah ingin tahu siapa lawanmu tadi malam dan siapa gurunya. Akan ayah beritahu ke gurunya untuk mendidik muridnya dengan baik agar tidak sembarangan duel dengan orang yang belum paham silat dan duel”, lanjut ayah menjelaskan.
“Tidak usah Yah, biar aku sendiri yang menjelaskan kepadanya”, kataku. “Biarkan aku duel ulang dan mengalahkannya”, kataku meminta persetujuan ayah. “Untuk itu ajari dan latih aku agar bisa menang melawannya Yah”, lanjutku bersemangat.
“Baiklah”, jawab ayah sambil tersenyum.
“Tapi ingat, kamu tidak boleh menceritakan tentang silat (beladiri) dan duel kepada orang lain, terutama orang yang tidak berlatih silat (beladiri), apalagi kepada pihak sekolah”, kata ayah menegaskan.
“Kenapa Yah?”, tanyaku.
“Seperti yang ayah jelaskan tadi bahwa silat (beladiri) dan duel adalah bertarung untuk mengalahkan bahkan sampai melukai orang lain, jadi bersifat kekerasan. Tidak mungkin sekolah akan mengijinkan muridnya belajar kekerasan seperti itu. Ayah dan ibu bahkan tadi sempat berdebat apakah perlu menceritakan tentang silat (beladiri) dan duel kepadamu. Kekerasan tidak dapat diterima oleh masyarakat umum dan melanggar aturan. Seperti pemahamanmu sebelumnya bahwa silat (beladiri) yang diketahui masyarakat umum adalah olahraga dimana ada aturan ketat dan dilakukan di arena olahraga, dan bagi anak sekolah sepertimu harus ada pengawasan dari orang dewasa. Jika sampai ada anak yang berkelahi baik perkelahian biasa maupun menggunakan ilmu silat, yang disalahkan adalah orang tuanya atau gurunya. Makanya ayah dan ibu selalu melarangmu berkelahi apalagi kalau sampai menggunakan gerakan-gerakan silat yang selama ini kamu pelajari. Jadi jika memang kamu berencana duel dengan lawanmu tadi malam, harus kamu pikirkan benar-benar tempat dan waktunya jangan sampai ketahuan orang lain”, jawab ayah panjang lebar.
“Sebenarnya masih banyak yang perlu ayah jelaskan tentang silat dan duel, tapi nanti saja secara bertahap”, kata ayah menutup pembicaraan tentang silat (beladiri).
“Hari ini kamu istirahat dulu aja, masih ada waktu panjang selama liburan untuk berlatih”, kata ibu. “Bukankah kamu mau mencari orang tersebut melalui kakak kelasmu yang menyerangmu itu?”, tanya ibu.
“Iya”, aku mengiyakan sambil mengangguk.
“Bukankah masih ada hal yang perlu kamu selesaikan dengan Mawar”, kata ibu mengingatkan. Aku hanya diam. Ada yang mengganjal dalam pikiranku teringat tentang Mawar tadi malam. “Ceritakan lebih banyak tentang Mawar”, kata ibu.
Akupun menceritakan tentang Mawar secara detil mulai dari awal. Ibu kadang memotong dan mengkomentari ceritaku, berusaha memahami dari sudut pandang Mawar.
“Sepertinya memang dari awal Mawar salah paham mengartikan sikapmu”, kata ibu menjelaskan. Aku baru sadar bahwa sikapku selama ini diartikan lain oleh Mawar bahkan mungkin oleh teman-teman lain yang melihat aku dan Mawar. Aku jadi teringat komentar-komentar Andi padaku terkait Mawar.
“Apakah Mawar cantik?”, tanya ibu mengagetkanku.
“Iya”, jawabku singkat.
“Kamu suka dia?”, tanya ibu lagi.
“Mmm..”, aku ragu mau menjawab iya.
“Sepertinya kamu memang masih belum bisa memahami perasaanmu sendiri”, kata ibu yang seakan bisa tahu isi hatiku (heart). Kemudian ibu memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk menguji perasaanku terhadap Mawar.
“Apakah kamu merasa lebih bersemangat (excited) ketika bersamanya?”, tanya ibu. Aku menggelengkan kepalaku. Aku teringat saat-saat Mawar kelihatan bersemangat ketika dekat denganku. Aku juga teringat ketika Andi menegurku terlalu semangat karena sedang ditonton Mawar.
“Apakah kamu merasa kangen ketika dia tidak ada?”, tanya ibu. Aku diam karena kurang memahami arti kata kangen. “Kangen itu perasaan tidak enak atau sedih atau kepikiran karena ingin bertemu”, kata ibu menjelaskan seakan tahu bahwa aku kurang paham. Aku pun menggelengkan kepala.
“Apakah kamu merasa cemburu?”, tanya ibu.
“Cemburu itu bagaimana sih Bu?”, tanyaku ke ibu karena teringat bahwa Andi pernah menanyakan hal yang sama.
“Cemburu itu perasaan tidak enak atau sedih atau tidak terima atau marah karena melihat orang lain dekat atau akrab atau bersenang-senang dengan dia”, jawab ibu menjelaskan.
“Aku pernah ditanya temanku juga ketika Mawar terlihat sedang mengobrol (berbincang-bincang) dengan Agus”, kataku. “Tapi aku merasa biasa saja mereka mengobrol”, kataku lebih lanjut menjelaskan bahwa aku tidak cemburu.
“Apakah kamu merasa penasaran ingin mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengannya?”, tanya ibu dengan kalimat lebih panjang agar lebih jelas buatku. Aku menggelengkan kepalaku. Aku teringat Mawar sering bertanya hal-hal tentang diriku.
“Berarti perasaanmu kepada Mawar memang bukan perasaan suka”, kata ibu menyimpulkan.
Aku jadi teringat perkataan Mawar tadi malam bahwa aku tidak suka dengannya.
“Tapi Bu, aku senang berteman dengan Mawar, senang mengobrol (berbincang-bincang) dengan dia”, kataku mencoba meminta penjelasan lebih lanjut.
“Apakah perasaan senang berteman atau mengobrol dengan Mawar itu seperti perasaan senangmu karena berteman atau mengobrol dengan temanmu yang lain, terutama yang cowok?”, tanya ibu. “Iya”, jawabku singkat setelah membandingkan pertemananku dengan Mawar dan Andi.
“Bu, jadi apa yang harus aku lakukan? aku tidak ingin Mawar jadi tidak berteman denganku lagi gara-gara kejadian semalam”, tanyaku ke ibu meminta pendapat.
“Bagaimanapun pertemanan kalian tidak akan sama lagi, karena dia suka padamu sedangkan kamu tidak. Tapi coba kamu telepon dia. Minta maaf padanya karena tidak memahami perasaannya. Minta maaf juga atas kesalahpahaman yang terjadi dan katakan bahwa bukan maksudmu mempermainkan dia”, kata ibu. “Selanjutnya tergantung dia bilang apa. Jika kamu ditanya tentang perasaanmu, ceritakan saja dengan jujur. Jika tidak ditanya ya sudah diam saja”, kata ibu lebih lanjut.
Akupun menelepon ke rumah Mawar, tapi tidak ada yang mengangkat teleponnya. Sepertinya tidak ada orang di rumahnya. Mungkin Mawar sekeluarga sudah berangkat liburan ke luar kota. Aku berpikir besok saja kalau sudah masuk sekolah lagi aku akan bicara dengan Mawar di sekolah. Karena sudah berpikir begitu dan karena sudah memahami perasaanku sendiri terhadap Mawar sehingga tidak ada lagi yang mengganjal dalam pikiranku sehingga hari-hari selanjutnya aku bisa konsentrasi untuk latihan silat (beladiri).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar