Aku terbangun.
Kulihat ke sekelilingku mencoba mengetahui aku ada dimana. Ternyata aku
terbaring di dalam sebuah tenda yang sepertinya kamar salah seorang pekerja
sirkus keliling. Kepalaku masih terasa sakit. Ulu hatiku juga masih terasa
sakit.
“Syukurlah kamu
sudah siuman”, kata seorang cewek (pemudi) yang duduk di sampingku.
“Rumahmu dimana,
Dik? Atau nomor teleponmu berapa? Biar kuhubungi keluargamu”, kata seorang pria
(laki-laki) yang sepertinya pemilik kamar yang kupakai tersebut.
Akupun
menyebutkan nomor telepon rumahku.
“Biar saya yang
menelepon ke rumahnya dari telepon umum Pak, sekalian pamit mau pulang karena
sudah malam. Terima kasih atas bantuannya Pak”, kata cewek tersebut sambil
melangkah akan keluar ruangan.
“Tunggu...kamu
siapa?”, tanyaku penasaran dengan suara pelan karena masih lemas.
“Tenang saja,
kita masih akan bertemu lagi”, jawabnya sambil tersenyum kemudian keluar
meninggalkan kami.
Setelah itu aku
tertidur. Aku bahkan kurang begitu sadar ketika dijemput ayah dan dipapah
sampai ke tempat tidurku di rumah.
Keesokan
harinya ketika aku bangun terdengar suara ayah dan ibu di ruang tengah diluar
kamarku seperti sedang berdebat tentang sesuatu. Ketika aku keluar dari kamar,
ayah dan ibu tiba-tiba menghentikan perdebatannya.
“Ya, kamu sudah
merasa baikan? kalau masih sakit berbaring saja di tempat tidur”, kata ibu
seakan mengalihkan pembicaraan.
“Sudah
mendingan bu”, kataku sambil duduk di meja makan bersama mereka.
“Oiya, makanlah
biar tenagamu segera pulih”, kata ibu sambil mengambilkan makanan ke piringku.
Kami pun makan bersama.
“Aku telah mendegar
secara singkat dari orang sirkus yang menolongmu, katanya kamu berkelahi ya?”, tanya
ayah.
“Maafkan aku
yah. Sebenarnya sudah 3 kali ini aku berkelahi”, jawabku. Aku lalu menceritakan
perkelahianku dengan ketua kelasku, dengan murid-murid SMA 8 dan yang tadi
malam di sirkus. Aku juga menceritakan penyebab terjadinya perkelahian sehingga
aku menceritakan juga tentang Mawar.
“Yang pertama
dan kedua tidak masalah karena kamu membela diri. Yang ayah ingin tahu lebih
lanjut yang tadi malam”, kata ayah memotong ceritaku. Akupun kemudian
menceritakan detil perkelahian tadi malam, termasuk kata-kata lawanku yang aku
tidak paham maksudnya.
“Kamu masih
ingat gerakan lawanmu itu? Coba tunjukkan ke ayah”, kata ayah sambil mengajak
berdiri.
“Entar saja lah
Yah, kan Arya masih belum sehat betul. Lagipula baru juga habis makan”, kata
ibu melarang ayah. Akhirnya ayah duduk kembali.
“Yah, silat itu
apa sih? kalau duel itu apa?”, tanyaku penasaran. Ayah dan ibu saling
berpandangan.
“Yang kupahami,
silat (beladiri) adalah olahraga berupa gerakan-gerakan tubuh untuk bertarung
dengan orang lain. Sedangkan duel adalah pertarungan satu lawan satu. Tapi aku
merasa yang dimaksud lawanku tadi malam tidak seperti itu”, kataku lebih lanjut
sambil menunggu jawaban ayah. Ibu menghela napas kemudian mengangguk seperti
memberi isyarat ke ayah.
“Tadi sebelum
kamu bangun ayah dan ibu sedang membahas apakah sudah waktunya menceritakan
padamu. Berhubung sekarang kamu bertanya tentang itu, jadi akan ayah
ceritakan”, kata ayah mengawali ceritanya.
Ayah kemudian menjelaskan
dengan panjang lebar. Aku tidak ingat detil perkataan ayah. Yang kupahami dari
penjelasan ayah tersebut kurang lebih adalah sebagai berikut.
Silat atau ilmu silat (beladiri atau martial arts) adalah kemampuan seseorang
bertarung untuk mengalahkan atau bahkan melumpuhkan orang lain baik dengan
tangan kosong (hanya menggunakan anggota tubuh) maupun dengan menggunakan
senjata, jadi tidak semata-mata untuk membela diri (self defense). Sudah menjadi insting manusia untuk bertarung dengan
orang lain, baik dengan tujuan untuk mengalahkan dan menguasai orang lain
maupun dengan tujuan membela diri atau melindungi orang dari orang lain. Dulu
pada jaman masih terjadi perebutan kekuasaan dengan perang dan pertarungan,
kemampuan seseorang dalam bertarung bisa menentukan status sosial seseorang. Orang
bisa berkuasa dan ditakuti karena mengalahkan dan memperbudak orang lain. Di
sisi lain ada juga orang yang dihormati dan disegani karena melindungi orang
lain. Pada saat itu banyak terjadi pertarungan sehingga banyak yang belajar
ilmu silat (beladiri). Seiring dengan perkembangan jaman, dimana kemampuan
bertarung tidak lagi terlalu berpengaruh dalam status sosial, semakin berkurang
orang yang belajar silat (beladiri). Selain itu dengan adanya hukum dan
pemerintahan, orang tidak bisa lagi sewenang-wenang menyakiti orang lain.
(penyadur: berdasarkan penjelasan di atas,
mungkin tidak ada istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat yang bisa dipakai
untuk mewakili pengertian yang dimaksud tersebut. Karena istilah yang ada dalam
bahasa Indonesia adalah beladiri dan istilah yang biasa dipakai dalam cerita
adalah silat maka untuk penulisan ulang jurnal ini istilah yang dipakai adalah
silat, ilmu silat, atau beladiri)
Akhirnya ilmu
silat (beladiri) berkembang menjadi olahraga dan seni dimana pertarungannya
dibatasi dengan aturan-aturan untuk mengurangi risiko cedera sekecil mungkin
dan kemenangannya ditentukan oleh wasit (pihak ketiga). Namun masih ada orang
yang belajar silat (beladiri) yang masih ingin bertarung mengadu kemampuan
secara bebas tanpa dibatasi aturan dan waktu dimana kemenangan ditentukan
dengan kemampuan melumpuhkan lawan sampai menyerah atau tidak sanggup melawan
lagi. Agar tidak berurusan dengan hukum, maka dibuatlah aturan duel dimana pertarungan satu lawan satu
harus dengan persetujuan kedua belah pihak disaksikan orang lain dimana jika
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti terluka parah atau bahkan
meninggal, pihak yang bertarung atau kerabatnya tidak menuntut secara hukum.
“Jadi, sudah
paham kan apa itu silat dan duel?”, tanya ayah kepadaku setelah menjelaskan
secara panjang. Aku hanya mengangguk.
“Jadi menurutmu
perkelahianmu tadi malam duel apa bukan?”, tanya ayah. Aku menggeleng pelan
karena aku masih ragu-ragu apakah perkelahianku tadi malam termasuk duel atau
tidak.
“Itu bukan
duel, karena kamu belum mengerti apa itu duel dan akibatnya (konsekuensinya)”,
kata ayah. “Karena itulah ayah ingin tahu siapa lawanmu tadi malam dan siapa
gurunya. Akan ayah beritahu ke gurunya untuk mendidik muridnya dengan baik agar
tidak sembarangan duel dengan orang yang belum paham silat dan duel”, lanjut
ayah menjelaskan.
“Tidak usah Yah,
biar aku sendiri yang menjelaskan kepadanya”, kataku. “Biarkan aku duel ulang
dan mengalahkannya”, kataku meminta persetujuan ayah. “Untuk itu ajari dan
latih aku agar bisa menang melawannya Yah”, lanjutku bersemangat.
“Baiklah”,
jawab ayah sambil tersenyum.
“Tapi ingat,
kamu tidak boleh menceritakan tentang silat (beladiri) dan duel kepada orang
lain, terutama orang yang tidak berlatih silat (beladiri), apalagi kepada pihak
sekolah”, kata ayah menegaskan.
“Kenapa Yah?”,
tanyaku.
“Seperti yang
ayah jelaskan tadi bahwa silat (beladiri) dan duel adalah bertarung untuk
mengalahkan bahkan sampai melukai orang lain, jadi bersifat kekerasan. Tidak
mungkin sekolah akan mengijinkan muridnya belajar kekerasan seperti itu. Ayah
dan ibu bahkan tadi sempat berdebat apakah perlu menceritakan tentang silat
(beladiri) dan duel kepadamu. Kekerasan tidak dapat diterima oleh masyarakat
umum dan melanggar aturan. Seperti pemahamanmu sebelumnya bahwa silat
(beladiri) yang diketahui masyarakat umum adalah olahraga dimana ada aturan
ketat dan dilakukan di arena olahraga, dan bagi anak sekolah sepertimu harus
ada pengawasan dari orang dewasa. Jika sampai ada anak yang berkelahi baik
perkelahian biasa maupun menggunakan ilmu silat, yang disalahkan adalah orang
tuanya atau gurunya. Makanya ayah dan ibu selalu melarangmu berkelahi apalagi
kalau sampai menggunakan gerakan-gerakan silat yang selama ini kamu pelajari.
Jadi jika memang kamu berencana duel dengan lawanmu tadi malam, harus kamu
pikirkan benar-benar tempat dan waktunya jangan sampai ketahuan orang lain”,
jawab ayah panjang lebar.
“Sebenarnya
masih banyak yang perlu ayah jelaskan tentang silat dan duel, tapi nanti saja
secara bertahap”, kata ayah menutup pembicaraan tentang silat (beladiri).
“Hari ini kamu
istirahat dulu aja, masih ada waktu panjang selama liburan untuk berlatih”,
kata ibu. “Bukankah kamu mau mencari orang tersebut melalui kakak kelasmu yang
menyerangmu itu?”, tanya ibu.
“Iya”, aku mengiyakan
sambil mengangguk.
“Bukankah masih
ada hal yang perlu kamu selesaikan dengan Mawar”, kata ibu mengingatkan. Aku
hanya diam. Ada yang mengganjal dalam pikiranku teringat tentang Mawar tadi
malam. “Ceritakan lebih banyak tentang Mawar”, kata ibu.
Akupun
menceritakan tentang Mawar secara detil mulai dari awal. Ibu kadang memotong
dan mengkomentari ceritaku, berusaha memahami dari sudut pandang Mawar.
“Sepertinya
memang dari awal Mawar salah paham mengartikan sikapmu”, kata ibu menjelaskan.
Aku baru sadar bahwa sikapku selama ini diartikan lain oleh Mawar bahkan
mungkin oleh teman-teman lain yang melihat aku dan Mawar. Aku jadi teringat komentar-komentar
Andi padaku terkait Mawar.
“Apakah Mawar
cantik?”, tanya ibu mengagetkanku.
“Iya”, jawabku
singkat.
“Kamu suka
dia?”, tanya ibu lagi.
“Mmm..”, aku ragu
mau menjawab iya.
“Sepertinya
kamu memang masih belum bisa memahami perasaanmu sendiri”, kata ibu yang seakan
bisa tahu isi hatiku (heart). Kemudian
ibu memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk menguji perasaanku terhadap Mawar.
“Apakah kamu
merasa lebih bersemangat (excited)
ketika bersamanya?”, tanya ibu. Aku menggelengkan kepalaku. Aku teringat
saat-saat Mawar kelihatan bersemangat ketika dekat denganku. Aku juga teringat
ketika Andi menegurku terlalu semangat karena sedang ditonton Mawar.
“Apakah kamu
merasa kangen ketika dia tidak ada?”, tanya ibu. Aku diam karena kurang
memahami arti kata kangen. “Kangen itu perasaan tidak enak atau sedih atau
kepikiran karena ingin bertemu”, kata ibu menjelaskan seakan tahu bahwa aku
kurang paham. Aku pun menggelengkan kepala.
“Apakah kamu
merasa cemburu?”, tanya ibu.
“Cemburu itu
bagaimana sih Bu?”, tanyaku ke ibu karena teringat bahwa Andi pernah menanyakan
hal yang sama.
“Cemburu itu
perasaan tidak enak atau sedih atau tidak terima atau marah karena melihat
orang lain dekat atau akrab atau bersenang-senang dengan dia”, jawab ibu
menjelaskan.
“Aku pernah
ditanya temanku juga ketika Mawar terlihat sedang mengobrol
(berbincang-bincang) dengan Agus”, kataku. “Tapi aku merasa biasa saja mereka
mengobrol”, kataku lebih lanjut menjelaskan bahwa aku tidak cemburu.
“Apakah kamu
merasa penasaran ingin mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengannya?”,
tanya ibu dengan kalimat lebih panjang agar lebih jelas buatku. Aku
menggelengkan kepalaku. Aku teringat Mawar sering bertanya hal-hal tentang
diriku.
“Berarti
perasaanmu kepada Mawar memang bukan perasaan suka”, kata ibu menyimpulkan.
Aku jadi
teringat perkataan Mawar tadi malam bahwa aku tidak suka dengannya.
“Tapi Bu, aku
senang berteman dengan Mawar, senang mengobrol (berbincang-bincang) dengan
dia”, kataku mencoba meminta penjelasan lebih lanjut.
“Apakah
perasaan senang berteman atau mengobrol dengan Mawar itu seperti perasaan
senangmu karena berteman atau mengobrol dengan temanmu yang lain, terutama yang
cowok?”, tanya ibu. “Iya”, jawabku singkat setelah membandingkan pertemananku
dengan Mawar dan Andi.
“Bu, jadi apa
yang harus aku lakukan? aku tidak ingin Mawar jadi tidak berteman denganku lagi
gara-gara kejadian semalam”, tanyaku ke ibu meminta pendapat.
“Bagaimanapun
pertemanan kalian tidak akan sama lagi, karena dia suka padamu sedangkan kamu
tidak. Tapi coba kamu telepon dia. Minta maaf padanya karena tidak memahami
perasaannya. Minta maaf juga atas kesalahpahaman yang terjadi dan katakan bahwa
bukan maksudmu mempermainkan dia”, kata ibu. “Selanjutnya tergantung dia bilang
apa. Jika kamu ditanya tentang perasaanmu, ceritakan saja dengan jujur. Jika tidak
ditanya ya sudah diam saja”, kata ibu lebih lanjut.
Akupun menelepon
ke rumah Mawar, tapi tidak ada yang mengangkat teleponnya. Sepertinya tidak ada
orang di rumahnya. Mungkin Mawar sekeluarga sudah berangkat liburan ke luar
kota. Aku berpikir besok saja kalau sudah masuk sekolah lagi aku akan bicara
dengan Mawar di sekolah. Karena sudah berpikir begitu dan karena sudah memahami
perasaanku sendiri terhadap Mawar sehingga tidak ada lagi yang mengganjal dalam
pikiranku sehingga hari-hari selanjutnya aku bisa konsentrasi untuk latihan
silat (beladiri).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar