Jumat, 19 Agustus 2016

#18 Bertemu Bunga

(sebelumnya #17)


Hari itu hari pertama masuk sekolah setelah liburan semesteran.
Berangkat dari rumah aku sudah punya rencana bahwa aku akan menemui Mawar untuk meminta maaf dan akan menemui Agus untuk menanyakan tentang temannya. Tapi ternyata hari itu tidak berjalan sesuai dengan rencanaku.
Pagi itu sesampainya di kelas banyak murid-murid lain yang sudah datang. Mereka mengobrol (berbincang-bincang) satu sama lain kelihatan gembira mungkin karena baru bertemu setelah selama liburan tidak ketemu. Andi juga sudah datang dan kelihatan sedang mengobrol (berbincang-bincang) dengan beberapa teman di mejanya. Aku bingung mau duduk dimana karena kursi yang semeja dengan Andi sudah ada yang duduk.
“Ya, duduk sini”, panggil Andi yang sepertinya tahu bahwa aku bingung. Teman yang sedang duduk disamping Andi berdiri dan mempersilakan aku duduk. Ternyata dia duduk di tempat lain. Dia duduk di kursi tersebut hanya karena sedang mengobrol (berbincang-bincang) dengan Andi. Aku mengucapkan terima kasih dan menaruh tasku di kursi tersebut tapi aku tidak langsung duduk. Aku melihat ke sekeliling ruang kelas mencari Mawar. Terlihat Mawar sedang mengobrol (berbincang-bincang) dengan temannya. Akupun menghampirinya.
“Mawar, aku mau berbicara denganmu”, kataku.

“Lain kali saja. Kami kan sedang ngobrol”, jawab Mawar dengan dingin.
Akupun kembali ke tempat dudukku. Andi yang sedang bercerita dengan teman-teman tentang hasil pertandingan bola basket antar SMA menghentikan ceritanya. Dia sepertinya menyadari sikap Mawar yang agak berbeda terhadapku.
“Sudah dulu ya, sudah hampir bel”, kata Andi seakan menyuruh teman-teman pergi. Ketika teman-teman sudah kembali ke tempat duduknya masing-masing, Andi bertanya padaku, “Kamu dan Mawar ada masalah apa?”.
Aku diam saja karena masih ragu-ragu untuk bercerita ke Andi.
“Nanti aja ceritanya”, jawabku ketika bel berbunyi seakan memberi alasan bagiku untuk tidak langsung menjawab pertanyaan Andi. Seperti biasanya, selama pelajaran kami tidak mengobrol (berbincang-bincang) sehingga aku masih belum bercerita ke Andi.
Ketika istirahat aku segera menghampiri Mawar tapi Mawar sudah beranjak (berdiri) dari tempat duduknya ketika aku menghampirinya.
“Mawar, tunggu, aku mau berbicara denganmu”, kataku.
“Nanti saja, kami kan mau istirahat”, kata Mawar dengan dingin sambil menarik tangan salah seorang teman cewek (perempuan) mengajaknya mempercepat jalannya keluar kelas.
Aku tidak mau memaksakan diri jadi kubiarkan pergi dan tidak kukejar. Aku kembali ke tempat dudukku yang langsung ditanya Andi yang heran melihat kejadian tadi.
“Ada apa dengan kalian? Ayo ceritakan!”, kata Andi mendesakku.
Akupun menceritakan kejadian di sirkus dan menceritakan bahwa aku berkelahi dengan Agus dan teman-temannya sampai aku kalah. Tetapi aku tidak menceritakan bahwa aku, Agus atau temannya menggunakan ilmu silat dalam berkelahi.
“Makanya aku ingin meluruskan kesalahpahaman ini dengan Mawar”, kataku.
“Jangan-jangan kamu tidak bisa berangkat pas pertandingan pertama karena masih sakit ya?”, tanya Andi. Aku hanya mengangguk mengiyakan dan membiarkan Andi berpikiran seperti itu.
“Pantas aku merasa aneh dengan alasanmu bahwa ada keperluan keluarga. Bagaimana dengan pertandingan selanjutnya? Bukankah aku meneleponmu bahwa kita menang di pertandingan pertama dan lanjut ke pertandingan berikutnya? Pasti tubuhmu sudah sembuh kan?”, tanya Andi.
“Kamu kan cerita bahwa posisiku digantikan Agus, jadi aku tidak mau datang di pertandingan-pertandingan selanjutnya. Aku tidak mau permasalahanku dengan Agus mempengaruhi tim”, kataku memberi alasan yang tidak sepenuhnya berbohong karena memang itu salah satu alasanku tidak berangkat ke pertandingan selanjutnya. Andi sepertinya bisa memahami alasanku.
“Eh, ceritain tentang pertandingannya dong”, kataku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Andi pun menceritakan dengan bersemangat (antusias) tentang pertandingan-pertandingan tim kami dalam babak final lomba bola basket antar SMA. Ternyata SMA kami menang terus dan akhirnya menjadi juara. Aku berusaha memperhatikan dan kelihatan tertarik tapi sebenarnya aku sedang memikirkan bagaimana dan kapan berbicara dengan Mawar atau Agus.
“Eh, nanti ada latihan gak?”, tanyaku ke Andi ketika Andi dia sedang berhenti bercerita. Kalau nanti ada latihan mungkin aku bisa bertemu Agus pada saat latihan.
“Gak ada pemberitahuan sih. Datang aja yuk, kita kan bisa latihan sendiri”, jawab Andi.
Akhirnya waktu istirahat selesai tanpa aku sempat berbicara ke Mawar ataupun Agus dan hanya kuhabiskan dengan mengobrol (berbincang-bincang) dengan Andi.
Sepulang sekolah kembali aku berusaha berbicara dengan Mawar tapi lagi-lagi dia menghindar dan segera keluar kelas dengan alasan sudah ditunggu penjemputnya. Aku hanya berdiri memandang kepergiannya.
Kemudian Andi mengajakku ke lapangan bola basket untuk latihan bola basket. Ketika bertemu teman-teman klub bola basket aku mengucapkan selamat atas juara lomba bola basket antar SMA. Aku juga meminta maaf karena tidak bisa datang dalam babak final lomba bola basket antar SMA. Ternyata tidak semua anggota klub datang pada latihan siang hari itu, termasuk Agus. Rencanaku untuk berbicara dengan Agus siang itu jadi gagal.
Kami kemudian latihan seperti biasa. Ketika latih tanding aku merasa kemampuanku bermain bola basket menurun dibanding teman-teman yang lain. Apakah karena aku sudah beberapa lama tidak berlatih bola basket, ataukah karena teman-teman lain kemampuannya meningkat selama lomba bola basket antar SMA, ataukah karena aku sedang kurang bersemangat, aku tidak tahu. Aku bermain hanya sebentar kemudian keluar digantikan teman yang lain. Aku pun langsung pulang duluan tanpa menunggu teman-teman lain selesai berlatih.
Ketika aku berjalan melewati depan ruang kelas ada suara memanggil dari atas. Bangunan SMA-ku terdiri dari tiga lantai. Kelas 1 ada di lantai 1 (lantai dasar). Kelas 2 ada di lantai 2 dan kelas 3 ada di lantai 3.
“Arya”, panggil suara tersebut. Aku menengok ke atas, terlihat seorang murid perempuan melihatku dari pinggir pagar lantai 2. Aku tidak asing dengan wajahnya, sepertinya aku pernah bertemu dengannya.
“Tangkap”, kata cewek (pemudi) tersebut sambil menjatuhkan tasnya ke aku. Akupun menangkap tasnya. Belum hilang rasa penasaran dan kagetku tiba-tiba dia memanjat dan melewati pagar lantai 2 lalu berpegangan pada tepian tembok dan melompat turun ke tempatku berdiri dengan lincah dari lantai 2 dengan menjejakkan kaki ke tembok tiang untuk mengurangi daya benturan (impact).
“Hey, kamu ngintip celana dalamku ya?”, tanya dia menuduhku. Aku diam saja karena malu dan bingung mau menjawab apa karena memang celana dalamnya sempat terlihat olehku karena rok seragam sekolahnya sempat tersingkap ketika melompat turun ke arahku. Dia malah tersenyum seperti menggodaku (teasing).
“Salahmu sendiri, lagipula kenapa kamu melompat dari lantai 2?”, tanyaku membela diri.
“Biar cepat sampai bawah sini, daripada harus berjalan ke ujung sana, turun tangga lalu berjalan kesini”, jawabnya. Aku kemudian teringat bahwa dia yang menolongku waktu aku berkelahi dengan Agus dan teman-temannya.
“Kamu yang menolongku waktu di sirkus kan? Siapa namamu?”, tanyaku.
“Oiya kita belum kenalan ya? Aku Bunga”, katanya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Aku Arya”, kataku sambil meyambut uluran tangannya. Tangannya terasa kencang (firm) dan genggamannya terasa kuat tidak seperti tangan Mawar yang terasa lembut/empuk (soft). Dia sepertinya sudah tahu namaku sehingga tidak menghiraukan ucapanku malah langsung berkomentar lain hampir bersamaan dengan ucapanku.
“Wah tangan yang kuat. Kamu benar-benar belajar silat ya?”, katanya mengagetkanku.
“Hey, darimana kau...?”, tanyaku penasaran. Belum selesai aku berbicara dia sudah memotong ucapanku.
“Ayo ikut aku”, katanya mengajakku sambil menarik tanganku yang belum lepas dari bersalaman. Akupun mengikutinya dan dia pun melepaskan tangannya ketika tahu aku mau mengikutinya. Dia menoleh sambil tersenyum kemudian berlari seakan menantangku lari. Aku pun berlari mengejarnya. Aku tidak meyangka bahwa larinya secepat itu. Jika aku sungguh-sungguh mungkin aku bisa mengejarnya. Tapi karena aku ingin tahu kemana dia akan mengajakku, maka aku hanya mengimbangi kecepatannya dan mengikutinya. Dia berlari menuju tangga lantai (stairs) dan menaiki tangga lantai (stairs) terus sampai ke lantai 3. Kemudian di lantai 3 dia berhenti di dekat sebuah tangga besi. Dia lalu menaiki tangga tersebut. Sepertinya itu tangga ke atas gedung (rooftop). Aku mengikuti naik tangga tersebut di bawahnya sehingga ketika aku melihat ke atas, sempat terlihat celana dalamnya. Akupun berusaha untuk tidak melihatnya. Akhirnya kami sampai di atas gedung. Aku tidak tahu, tapi sepertinya murid-murid tidak boleh berada disini di atas gedung. Aku memandang ke sekeliling.
“Apa yang akan kita...?”, tanyaku khawatir, yang kemudian sudah dipotong oleh Bunga.
“Tenang aja, semoga tidak ada yang tahu kalau kita disini”, kata Bunga sambil tersenyum seakan mengetahui pikiranku. Aku memandang Bunga dengan penuh penasaran. Banyak hal yang ingin kutanyakan tapi kutahan, daripada pertanyaanku dipotong lagi. Dia berdiri dipinggir tembok pembatas gedung. Akupun berdiri disampingnya.
“Bagus kan pemandangan dari atas sini?”, tanyanya sambil melihat ke kejauhan. Belum sempat aku menjawab dia sudah melanjutkan pembicaraannya.
“Aku biasa disini sendirian, terutama sepulang sekolah. Dari sini juga bisa melihat semua murid yang lewat di bawah. Sampai akhirnya aku melihatmu”, katanya. Aku hanya diam mendengarkan omongannya yang sepertinya sudah akan menjawab penasaranku. Tapi tiba-tiba Bunga naik dan berdiri di atas tembok pembatas.
“Hey, awas...”, kataku yang berusaha memperingatkan tapi dia tidak menghiraukan ucapanku.
“Ayo naik sini. Aku tahu kemampuan keseimbangan tubuhmu”, katanya. Aku semakin penasaran dengan Bunga. Tidak hanya dia tahu bahwa aku belajar silat, tapi dia juga tahu bahwa aku berlatih keseimbangan tubuh.
Keseimbangan tubuh adalah kemampuan memposisikan diri sehingga tidak mudah jatuh baik ketika diam maupun bergerak. Aku sudah diajari dan berlatih ilmu keseimbangan tubuh sejak kecil ketika kami masih tinggal di sirkus. Dulu aku mengira bahwa aku diajari dan berlatih keseimbangan tubuh karena untuk atraksi di sirkus, seperti atraksi berjalan di atas tali dan sebagainya. Tapi kemudian ayah menjelaskan dan mengajari keseimbangan tubuh dalam ilmu silat. Ayah juga menjelaskan teori keseimbangan tubuh dikaitkan dengan pelajaran biologi dan pelajaran fisika misalnya tentang pusat masa (center of mass).
(penyadur: orang dengan keseimbangan tubuh yang bagus bisa berdiri diatas suatu pijakan yang sempit dan tinggi tapi tidak kehilangan keseimbangan jadi seolah-olah tubuhnya ringan sehingga kemampuan keseimbangan seseorang biasa disebut ilmu meringankan tubuh dalam cerita-cerita silat berbahasa indonesia, tapi untuk penulisan ini istilah yang dipakai adalah keseimbangan tubuh).
Akupun naik ke atas tembok pembatas dan berjalan dibelakang Bunga. Aku teringat bagaimana latihan keseimbangan tubuh ketika masih di sirkus. Untuk bisa berjalan di atas tali yang tinggi, selain berlatih keseimbangan secara fisik, juga berlatih mental. Kami selalu diajari (didoktrin) bahwa dengan lebar titian yang sama, berjalan di tempat tinggi tidak berbeda dengan berjalan di titian yang rendah di atas tanah, yang membedakan hanyalah ketakutan kita. Ketika ayah menjelaskan keseimbangan tubuh dalam ilmu silat ayah mengatakan bahwa sebenarnya gravitasi ikut mempengaruhi tapi faktor mental tetap yang utama. Aku tambah penasaran pada Bunga karena berani berjalan di atas tembok setinggi gedung 3 lantai.
“Melihat caramu berjalan aku tahu keseimbangan tubuhmu telah terlatih. Jadi kalau cuma berjalan di atas sini, kurang menantang. Coba kau ikuti gerakanku”, kata Bunga seakan mau menguji kemampuan keseimbangan tubuhku.
Ayah pernah menjelaskan bahwa orang yang berlatih keseimbangan tubuh terlihat dari caranya berjalan. Karena berlatih ilmu keseimbangan tubuh maka cara berdiri dan cara berjalan sehari-hari menjadi terbiasa untuk selalu menjaga keseimbangan sehingga akan kelihatan berbeda jika dibandingkan dengan orang pada umumnya. Perlu kejelian (ketelitian) untuk bisa melihat perbedaan tersebut. Aku bisa melihat perbedaan cara berjalan ayah atau ibu dibanding dengan orang lain. Aku dan ayah sering bermain menebak orang yang lewat apakah berlatih keseimbangan tubuh atau tidak, tetapi kami tidak pernah berhasil menemukan orang yang berlatih keseimbangan tubuh. Aku jadi kagum dengan Bunga yang bisa tahu bahwa aku belajar keseimbangan tubuh dengan melihat caraku berjalan.
Bunga kemudian melakukan gerakan-gerakan yang memerlukan kemampuan keseimbangan tubuh yang bagus. Gerakan-gerakannya seperti gerakan-gerakan penari balet, mulai dari berdiri dengan satu kaki, berjinjit, berputar dan sebagainya. Aku berpikir jangan-jangan Bunga berlatih keseimbangan tubuh dari latihan menari balet. Gerakannya begitu lincah dan luwes. Aku berusaha mengikuti gerakannya. Walaupun tidak selincah dan seluwes Bunga tapi aku yakin dengan kemampuan keseimbangan tubuhku sehingga aku masih bisa mengikuti gerakannya. Kemudian gerakan Bunga berubah menjadi lebih berbahaya. Gerakan-gerakannya lebih seperti gerakan pesenam mulai dari gerakan melompat, berguling, dan berdiri terbalik bertumpu pada tangan kemudian kembali berdiri dengan kaki. Sudah beberapa kali roknya tersingkap sehingga kelihatan celana dalamnya termasuk ketika berdiri terbalik bertumpu pada tangan. Sepertinya Bunga tidak menghiraukan (cuek) kalau celana dalamnya terlihat olehku. Akupun tidak begitu memperhatikan karena konsentrasi pada meniru gerakan dia. Akhirnya Bunga hampir sampai di ujung gedung di dekat pojokan tembok pembatas. Dia berhenti dan menoleh ke aku sambil tersenyum. Aku tahu apa yang akan dia lakukan, tapi aku tidak sempat mencegahnnya.
Dia melompat dari atas tembok pembatas di sisi yang kami naiki ke atas tembok pembatas sisi lain. Tanpa perhitungan yang tepat dia bisa jatuh. Jika tenaga lompatannya kurang dia akan jatuh ke lantai atas gedung (rooftop) sehingga tidak terlalu berbahaya. Tetapi jika tenaga lompatannya berlebih, dia bisa jatuh keluar tembok pembatas sehingga bisa jatuh ke bawah dari atas gedung. Jika perhitungannya tepat dan dia bisa mendarat di atas tembok pembatas sisi sebelah sana pun masih ada resiko terbawa daya dorong (momentum) dan jatuh keluar tembok pembatas. Bunga berhasil mendarat di atas tembok pembatas sisi sebelah sana dan tubuhnya terhuyung-huyung ke arah depan karena daya dorong (momentum) tapi akhirnya dia bisa menyeimbangkan diri. Dia membalikkan badan sambil tersenyum dan dengan isyarat tangan menyuruhku untuk melakukan hal serupa. Akupun melakukannya dan berhasil seperti Bunga. Kami lalu turun dari tembok, duduk di lantai atas gedung (rooftop) bersandar ke tembok pembatas, beristirahat dari ketegangan yang telah kami lakukan. Kami saling berpandangan sambil tersenyum.
(Penyadur: AWAS INI ADALAH ADEGAN BERBAHAYA YANG TIDAK BOLEH DITIRU SAMA SEKALI)
“Seru kan? Aku hanya ingin memastikan kemampuan keseimbangan tubuhmu”, kata Bunga sambil berdiri lalu berjalan mengambil tasnya seperti mau pergi.
“Hey tunggu...”, kataku berusaha mencegahnya pergi karena masih banyak hal-hal yang ingin kutanyakan dari Bunga, tapi lagi-lagi dia tidak menghiraukan ucapanku.
“Ayo pulang, sudah siang”, kata Bunga sambil berlari lalu turun meluncur di tangga besi dengan memegangi pegangan tangga tanpa menapaki anak tangga. Aku mengikuti dari belakang tapi tidak berusaha sungguh-sungguh mengejarnya. Dia lalu menuruni tangga lantai dengan berlari, melompat dan meluncur secara lincah di pegangan pembatas tangga lantai sehingga dalam waktu singkat sudah sampai di lantai dasar kemudian berlari menuju halaman sekolah. Aku tidak lagi mengejar dan hanya berdiri melihat kepergiannya. Mengetahui aku tidak lagi mengejarnya, dia tidak lagi berlari dan hanya berjalan melewati halaman sekolah. Aku melihat cara dia berjalan dan menyadari bahwa cara dia berjalan seperti orang yang telah berlatih keseimbangan tubuh.
“Sampai ketemu besok”, kata Bunga sambil menengok ke arahku, melambaikan tangan dan tersenyum. Akupun membalas lambaian tangan dan senyumnya. Setelah itu aku juga pulang meninggalkan sekolah.
Di rumah aku masih kepikiran tentang Bunga tetapi aku tidak menceritakan pada ayah maupun ibu. Karena penasaran dengan Bunga, ketika sedang belajar dan teringat akan Bunga, aku jadi menulis coret-coretan di buku tulisku tentang Bunga dan pertemuanku dengan Bunga tadi siang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar