Hari itu hari
pertama masuk sekolah setelah liburan semesteran.
Berangkat dari
rumah aku sudah punya rencana bahwa aku akan menemui Mawar untuk meminta maaf
dan akan menemui Agus untuk menanyakan tentang temannya. Tapi ternyata hari itu
tidak berjalan sesuai dengan rencanaku.
Pagi itu
sesampainya di kelas banyak murid-murid lain yang sudah datang. Mereka mengobrol
(berbincang-bincang) satu sama lain kelihatan gembira mungkin karena baru
bertemu setelah selama liburan tidak ketemu. Andi juga sudah datang dan
kelihatan sedang mengobrol (berbincang-bincang) dengan beberapa teman di
mejanya. Aku bingung mau duduk dimana karena kursi yang semeja dengan Andi
sudah ada yang duduk.
“Ya, duduk
sini”, panggil Andi yang sepertinya tahu bahwa aku bingung. Teman yang sedang
duduk disamping Andi berdiri dan mempersilakan aku duduk. Ternyata dia duduk di
tempat lain. Dia duduk di kursi tersebut hanya karena sedang mengobrol
(berbincang-bincang) dengan Andi. Aku mengucapkan terima kasih dan menaruh
tasku di kursi tersebut tapi aku tidak langsung duduk. Aku melihat ke
sekeliling ruang kelas mencari Mawar. Terlihat Mawar sedang mengobrol
(berbincang-bincang) dengan temannya. Akupun menghampirinya.
“Mawar, aku mau
berbicara denganmu”, kataku.
“Lain kali
saja. Kami kan sedang ngobrol”, jawab Mawar dengan dingin.
Akupun kembali
ke tempat dudukku. Andi yang sedang bercerita dengan teman-teman tentang hasil pertandingan
bola basket antar SMA menghentikan ceritanya. Dia sepertinya menyadari sikap
Mawar yang agak berbeda terhadapku.
“Sudah dulu ya,
sudah hampir bel”, kata Andi seakan menyuruh teman-teman pergi. Ketika
teman-teman sudah kembali ke tempat duduknya masing-masing, Andi bertanya
padaku, “Kamu dan Mawar ada masalah apa?”.
Aku diam saja
karena masih ragu-ragu untuk bercerita ke Andi.
“Nanti aja
ceritanya”, jawabku ketika bel berbunyi seakan memberi alasan bagiku untuk
tidak langsung menjawab pertanyaan Andi. Seperti biasanya, selama pelajaran
kami tidak mengobrol (berbincang-bincang) sehingga aku masih belum bercerita ke
Andi.
Ketika istirahat
aku segera menghampiri Mawar tapi Mawar sudah beranjak (berdiri) dari tempat
duduknya ketika aku menghampirinya.
“Mawar, tunggu,
aku mau berbicara denganmu”, kataku.
“Nanti saja,
kami kan mau istirahat”, kata Mawar dengan dingin sambil menarik tangan salah
seorang teman cewek (perempuan) mengajaknya mempercepat jalannya keluar kelas.
Aku tidak mau
memaksakan diri jadi kubiarkan pergi dan tidak kukejar. Aku kembali ke tempat
dudukku yang langsung ditanya Andi yang heran melihat kejadian tadi.
“Ada apa dengan
kalian? Ayo ceritakan!”, kata Andi mendesakku.
Akupun
menceritakan kejadian di sirkus dan menceritakan bahwa aku berkelahi dengan
Agus dan teman-temannya sampai aku kalah. Tetapi aku tidak menceritakan bahwa
aku, Agus atau temannya menggunakan ilmu silat dalam berkelahi.
“Makanya aku
ingin meluruskan kesalahpahaman ini dengan Mawar”, kataku.
“Jangan-jangan
kamu tidak bisa berangkat pas pertandingan pertama karena masih sakit ya?”,
tanya Andi. Aku hanya mengangguk mengiyakan dan membiarkan Andi berpikiran
seperti itu.
“Pantas aku
merasa aneh dengan alasanmu bahwa ada keperluan keluarga. Bagaimana dengan
pertandingan selanjutnya? Bukankah aku meneleponmu bahwa kita menang di
pertandingan pertama dan lanjut ke pertandingan berikutnya? Pasti tubuhmu sudah
sembuh kan?”, tanya Andi.
“Kamu kan
cerita bahwa posisiku digantikan Agus, jadi aku tidak mau datang di
pertandingan-pertandingan selanjutnya. Aku tidak mau permasalahanku dengan Agus
mempengaruhi tim”, kataku memberi alasan yang tidak sepenuhnya berbohong karena
memang itu salah satu alasanku tidak berangkat ke pertandingan selanjutnya.
Andi sepertinya bisa memahami alasanku.
“Eh, ceritain
tentang pertandingannya dong”, kataku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Andi pun
menceritakan dengan bersemangat (antusias) tentang pertandingan-pertandingan
tim kami dalam babak final lomba bola basket antar SMA. Ternyata SMA kami
menang terus dan akhirnya menjadi juara. Aku berusaha memperhatikan dan
kelihatan tertarik tapi sebenarnya aku sedang memikirkan bagaimana dan kapan
berbicara dengan Mawar atau Agus.
“Eh, nanti ada
latihan gak?”, tanyaku ke Andi ketika Andi dia sedang berhenti bercerita. Kalau
nanti ada latihan mungkin aku bisa bertemu Agus pada saat latihan.
“Gak ada
pemberitahuan sih. Datang aja yuk, kita kan bisa latihan sendiri”, jawab Andi.
Akhirnya waktu
istirahat selesai tanpa aku sempat berbicara ke Mawar ataupun Agus dan hanya
kuhabiskan dengan mengobrol (berbincang-bincang) dengan Andi.
Sepulang
sekolah kembali aku berusaha berbicara dengan Mawar tapi lagi-lagi dia
menghindar dan segera keluar kelas dengan alasan sudah ditunggu penjemputnya.
Aku hanya berdiri memandang kepergiannya.
Kemudian Andi
mengajakku ke lapangan bola basket untuk latihan bola basket. Ketika bertemu
teman-teman klub bola basket aku mengucapkan selamat atas juara lomba bola
basket antar SMA. Aku juga meminta maaf karena tidak bisa datang dalam babak
final lomba bola basket antar SMA. Ternyata tidak semua anggota klub datang
pada latihan siang hari itu, termasuk Agus. Rencanaku untuk berbicara dengan
Agus siang itu jadi gagal.
Kami kemudian
latihan seperti biasa. Ketika latih tanding aku merasa kemampuanku bermain bola
basket menurun dibanding teman-teman yang lain. Apakah karena aku sudah
beberapa lama tidak berlatih bola basket, ataukah karena teman-teman lain
kemampuannya meningkat selama lomba bola basket antar SMA, ataukah karena aku
sedang kurang bersemangat, aku tidak tahu. Aku bermain hanya sebentar kemudian
keluar digantikan teman yang lain. Aku pun langsung pulang duluan tanpa
menunggu teman-teman lain selesai berlatih.
Ketika aku
berjalan melewati depan ruang kelas ada suara memanggil dari atas. Bangunan SMA-ku terdiri dari tiga lantai. Kelas 1 ada di lantai 1 (lantai dasar). Kelas 2
ada di lantai 2 dan kelas 3 ada di lantai 3.
“Arya”, panggil
suara tersebut. Aku menengok ke atas, terlihat seorang murid perempuan
melihatku dari pinggir pagar lantai 2. Aku tidak asing dengan wajahnya,
sepertinya aku pernah bertemu dengannya.
“Tangkap”, kata
cewek (pemudi) tersebut sambil menjatuhkan tasnya ke aku. Akupun menangkap
tasnya. Belum hilang rasa penasaran dan kagetku tiba-tiba dia memanjat dan
melewati pagar lantai 2 lalu berpegangan pada tepian tembok dan melompat turun ke
tempatku berdiri dengan lincah dari lantai 2 dengan menjejakkan kaki ke
tembok tiang untuk mengurangi daya benturan (impact).
“Hey, kamu
ngintip celana dalamku ya?”, tanya dia menuduhku. Aku diam saja karena malu dan
bingung mau menjawab apa karena memang celana dalamnya sempat terlihat olehku
karena rok seragam sekolahnya sempat tersingkap ketika melompat turun ke
arahku. Dia malah tersenyum seperti menggodaku (teasing).
“Salahmu
sendiri, lagipula kenapa kamu melompat dari lantai 2?”, tanyaku membela diri.
“Biar cepat
sampai bawah sini, daripada harus berjalan ke ujung sana, turun tangga lalu berjalan
kesini”, jawabnya. Aku kemudian teringat bahwa dia yang menolongku waktu aku
berkelahi dengan Agus dan teman-temannya.
“Kamu yang
menolongku waktu di sirkus kan? Siapa namamu?”, tanyaku.
“Oiya kita
belum kenalan ya? Aku Bunga”,
katanya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Aku Arya”,
kataku sambil meyambut uluran tangannya. Tangannya terasa kencang (firm) dan genggamannya terasa kuat tidak
seperti tangan Mawar yang terasa lembut/empuk (soft). Dia sepertinya sudah tahu namaku sehingga tidak menghiraukan
ucapanku malah langsung berkomentar lain hampir bersamaan dengan ucapanku.
“Wah tangan
yang kuat. Kamu benar-benar belajar silat ya?”, katanya mengagetkanku.
“Hey, darimana
kau...?”, tanyaku penasaran. Belum selesai aku berbicara dia sudah memotong
ucapanku.
“Ayo ikut aku”,
katanya mengajakku sambil menarik tanganku yang belum lepas dari bersalaman.
Akupun mengikutinya dan dia pun melepaskan tangannya ketika tahu aku mau
mengikutinya. Dia menoleh sambil tersenyum kemudian berlari seakan menantangku
lari. Aku pun berlari mengejarnya. Aku tidak meyangka bahwa larinya secepat
itu. Jika aku sungguh-sungguh mungkin aku bisa mengejarnya. Tapi karena aku
ingin tahu kemana dia akan mengajakku, maka aku hanya mengimbangi kecepatannya
dan mengikutinya. Dia berlari menuju tangga lantai (stairs) dan menaiki tangga lantai (stairs) terus sampai ke lantai 3. Kemudian di lantai 3 dia berhenti
di dekat sebuah tangga besi. Dia lalu menaiki tangga tersebut. Sepertinya itu
tangga ke atas gedung (rooftop). Aku
mengikuti naik tangga tersebut di bawahnya sehingga ketika aku melihat ke atas,
sempat terlihat celana dalamnya. Akupun berusaha untuk tidak melihatnya. Akhirnya
kami sampai di atas gedung. Aku tidak tahu, tapi sepertinya murid-murid tidak
boleh berada disini di atas gedung. Aku memandang ke sekeliling.
“Apa yang akan
kita...?”, tanyaku khawatir, yang kemudian sudah dipotong oleh Bunga.
“Tenang aja,
semoga tidak ada yang tahu kalau kita disini”, kata
Bunga sambil tersenyum seakan mengetahui pikiranku. Aku memandang Bunga dengan
penuh penasaran. Banyak hal yang ingin kutanyakan tapi kutahan, daripada
pertanyaanku dipotong lagi. Dia berdiri dipinggir tembok pembatas gedung.
Akupun berdiri disampingnya.
“Bagus kan
pemandangan dari atas sini?”, tanyanya sambil melihat ke kejauhan. Belum sempat
aku menjawab dia sudah melanjutkan pembicaraannya.
“Aku biasa
disini sendirian, terutama sepulang sekolah. Dari sini juga bisa melihat semua
murid yang lewat di bawah. Sampai akhirnya aku melihatmu”, katanya. Aku hanya
diam mendengarkan omongannya yang sepertinya sudah akan menjawab penasaranku.
Tapi tiba-tiba Bunga naik dan berdiri di atas tembok pembatas.
“Hey, awas...”,
kataku yang berusaha memperingatkan tapi dia tidak menghiraukan ucapanku.
“Ayo naik sini.
Aku tahu kemampuan keseimbangan tubuhmu”, katanya. Aku semakin penasaran dengan
Bunga. Tidak hanya dia tahu bahwa aku belajar silat, tapi dia juga tahu bahwa
aku berlatih keseimbangan tubuh.
Keseimbangan tubuh adalah kemampuan memposisikan diri
sehingga tidak mudah jatuh baik ketika diam maupun bergerak. Aku sudah diajari
dan berlatih ilmu keseimbangan tubuh sejak kecil ketika kami masih tinggal di
sirkus. Dulu aku mengira bahwa aku diajari dan berlatih keseimbangan tubuh
karena untuk atraksi di sirkus, seperti atraksi berjalan di atas tali dan
sebagainya. Tapi kemudian ayah menjelaskan dan mengajari keseimbangan tubuh
dalam ilmu silat. Ayah juga menjelaskan teori keseimbangan tubuh dikaitkan
dengan pelajaran biologi dan pelajaran fisika misalnya tentang pusat masa (center of mass).
(penyadur: orang dengan keseimbangan tubuh yang bagus bisa
berdiri diatas suatu pijakan yang sempit dan tinggi tapi tidak kehilangan
keseimbangan jadi seolah-olah tubuhnya ringan sehingga kemampuan keseimbangan seseorang
biasa disebut ilmu meringankan tubuh dalam cerita-cerita silat berbahasa
indonesia, tapi untuk penulisan ini istilah yang dipakai adalah keseimbangan
tubuh).
Akupun naik ke
atas tembok pembatas dan berjalan dibelakang Bunga. Aku teringat bagaimana
latihan keseimbangan tubuh ketika masih di sirkus. Untuk bisa berjalan di atas
tali yang tinggi, selain berlatih keseimbangan secara fisik, juga berlatih
mental. Kami selalu diajari (didoktrin) bahwa dengan lebar titian yang sama,
berjalan di tempat tinggi tidak berbeda dengan berjalan di titian yang rendah
di atas tanah, yang membedakan hanyalah ketakutan kita. Ketika ayah menjelaskan
keseimbangan tubuh dalam ilmu silat ayah mengatakan bahwa sebenarnya gravitasi
ikut mempengaruhi tapi faktor mental tetap yang utama. Aku tambah penasaran
pada Bunga karena berani berjalan di atas tembok setinggi gedung 3 lantai.
“Melihat caramu
berjalan aku tahu keseimbangan tubuhmu telah terlatih. Jadi kalau cuma berjalan
di atas sini, kurang menantang. Coba kau ikuti gerakanku”, kata Bunga seakan
mau menguji kemampuan keseimbangan tubuhku.
Ayah pernah
menjelaskan bahwa orang yang berlatih keseimbangan tubuh terlihat dari caranya
berjalan. Karena berlatih ilmu keseimbangan tubuh maka cara berdiri dan cara
berjalan sehari-hari menjadi terbiasa untuk selalu menjaga keseimbangan
sehingga akan kelihatan berbeda jika dibandingkan dengan orang pada umumnya.
Perlu kejelian (ketelitian) untuk bisa melihat perbedaan tersebut. Aku bisa
melihat perbedaan cara berjalan ayah atau ibu dibanding dengan orang lain. Aku
dan ayah sering bermain menebak orang yang lewat apakah berlatih keseimbangan
tubuh atau tidak, tetapi kami tidak pernah berhasil menemukan orang yang
berlatih keseimbangan tubuh. Aku jadi kagum dengan Bunga yang bisa tahu bahwa aku belajar keseimbangan tubuh dengan melihat caraku
berjalan.
Bunga kemudian
melakukan gerakan-gerakan yang memerlukan kemampuan keseimbangan tubuh yang
bagus. Gerakan-gerakannya seperti gerakan-gerakan penari balet, mulai dari
berdiri dengan satu kaki, berjinjit, berputar dan sebagainya. Aku berpikir
jangan-jangan Bunga berlatih keseimbangan tubuh dari latihan menari balet. Gerakannya
begitu lincah dan luwes. Aku berusaha mengikuti gerakannya. Walaupun tidak
selincah dan seluwes Bunga tapi aku yakin dengan kemampuan keseimbangan tubuhku
sehingga aku masih bisa mengikuti gerakannya. Kemudian gerakan Bunga berubah
menjadi lebih berbahaya. Gerakan-gerakannya lebih seperti gerakan pesenam mulai
dari gerakan melompat, berguling, dan berdiri terbalik bertumpu pada tangan
kemudian kembali berdiri dengan kaki. Sudah beberapa kali roknya tersingkap
sehingga kelihatan celana dalamnya termasuk ketika berdiri terbalik bertumpu
pada tangan. Sepertinya Bunga tidak menghiraukan (cuek) kalau celana dalamnya
terlihat olehku. Akupun tidak begitu memperhatikan karena konsentrasi pada
meniru gerakan dia. Akhirnya Bunga hampir sampai di ujung gedung di dekat
pojokan tembok pembatas. Dia berhenti dan menoleh ke aku sambil tersenyum. Aku
tahu apa yang akan dia lakukan, tapi aku tidak sempat mencegahnnya.
Dia melompat
dari atas tembok pembatas di sisi yang kami naiki ke atas tembok pembatas sisi
lain. Tanpa perhitungan yang tepat dia bisa jatuh. Jika tenaga lompatannya
kurang dia akan jatuh ke lantai atas gedung (rooftop) sehingga tidak terlalu berbahaya. Tetapi jika tenaga
lompatannya berlebih, dia bisa jatuh keluar tembok pembatas sehingga bisa jatuh
ke bawah dari atas gedung. Jika perhitungannya tepat dan dia bisa mendarat di
atas tembok pembatas sisi sebelah sana pun masih ada resiko terbawa daya dorong
(momentum) dan jatuh keluar tembok
pembatas. Bunga berhasil mendarat di atas tembok pembatas sisi sebelah sana dan
tubuhnya terhuyung-huyung ke arah depan karena daya dorong (momentum) tapi akhirnya dia bisa
menyeimbangkan diri. Dia membalikkan badan sambil tersenyum dan dengan isyarat
tangan menyuruhku untuk melakukan hal serupa. Akupun melakukannya dan berhasil
seperti Bunga. Kami lalu turun dari tembok, duduk di lantai atas gedung (rooftop) bersandar ke tembok pembatas,
beristirahat dari ketegangan yang telah kami lakukan. Kami saling berpandangan
sambil tersenyum.
(Penyadur: AWAS INI ADALAH ADEGAN BERBAHAYA
YANG TIDAK BOLEH DITIRU SAMA SEKALI)
“Seru kan? Aku
hanya ingin memastikan kemampuan keseimbangan tubuhmu”, kata Bunga sambil
berdiri lalu berjalan mengambil tasnya seperti mau pergi.
“Hey tunggu...”,
kataku berusaha mencegahnya pergi karena masih banyak hal-hal yang ingin
kutanyakan dari Bunga, tapi lagi-lagi dia tidak menghiraukan ucapanku.
“Ayo pulang,
sudah siang”, kata Bunga sambil berlari lalu turun meluncur di tangga besi
dengan memegangi pegangan tangga tanpa menapaki anak tangga. Aku mengikuti dari
belakang tapi tidak berusaha sungguh-sungguh mengejarnya. Dia lalu menuruni
tangga lantai dengan berlari, melompat dan meluncur secara lincah di pegangan
pembatas tangga lantai sehingga dalam waktu singkat sudah sampai di lantai
dasar kemudian berlari menuju halaman sekolah. Aku tidak lagi mengejar dan
hanya berdiri melihat kepergiannya. Mengetahui aku tidak lagi mengejarnya, dia
tidak lagi berlari dan hanya berjalan melewati halaman sekolah. Aku melihat
cara dia berjalan dan menyadari bahwa cara dia berjalan seperti orang yang
telah berlatih keseimbangan tubuh.
“Sampai ketemu
besok”, kata Bunga sambil menengok ke arahku, melambaikan tangan dan tersenyum.
Akupun membalas lambaian tangan dan senyumnya. Setelah itu aku juga pulang
meninggalkan sekolah.
Di rumah aku
masih kepikiran tentang Bunga tetapi aku tidak menceritakan pada ayah maupun
ibu. Karena penasaran dengan Bunga, ketika sedang belajar dan teringat akan
Bunga, aku jadi menulis coret-coretan di buku tulisku tentang Bunga dan
pertemuanku dengan Bunga tadi siang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar