Senin, 25 Juli 2016

#15 Ditantang Duel

(sebelumnya #14)


Malam itu adalah malam minggu yang telah kujanjikan untuk bertemu dengan Mawar di sirkus keliling. Mulai besok sudah mulai libur semester pertama.
Aku sudah datang ke area sirkus keliling yaitu di lapangan utama kota kami. Aku pun segera menuju ke tengah lapangan ke arah tenda pertunjukan utama sirkus keliling tersebut. Ternyata aku datang bukan dari arah depan tenda utama sehingga ketika aku sampai di tenda utama aku harus berjalan memutar sepanjang pinggir tenda utama menuju bagian depan tenda utama tempat loket dan pintu masuk. Pinggir tenda utama tersebut sepi dan agak gelap. Tiba-tiba aku dihadang beberapa orang.
“Wah...ini dia orangnya, kebetulan sekali”, kata salah seorang dari mereka yang ternyata adalah Agus.
“Oh Agus, ada apa?”, tanyaku. Agus dan teman-temannya mengelilingiku seakan mau mengeroyokku.
“Aku sebel lihat kamu yang sok begitu”, kata Agus dengan nada marah. Aku diam saja. Dari kalimat dan nadanya aku tahu bahwa mereka mau menjahiliku (mem-bully).
“Kamu jangan macam-macam dengan Mawar ya”, kata Agus mengancam. “Ngapain kamu mendekati Mawar? Kamu mau pacaran dengan Mawar karena dia kaya kan? Kalian itu tidak cocok, tahu gak?”, tanya Agus dengan suara keras seperti membentak-bentak.
“Nggak kok. Aku dan Mawar kan hanya teman sekelas saja”, jawabku datar.
Tiba-tiba dari arah samping terdengar suara Mawar.
“Kamu jahat”, kata Mawar mengagetkan aku. Aku menoleh ke arah Mawar tapi bingung mau berkata apa.
“Kukira kamu mengajak kencan malam ini karena suka padaku, ternyata kamu hanya mempermainkan aku, dasar tidak berperasaan”, kata Mawar sambil marah dan langsung lari menjauh.
“Mawar...”, aku berusaha memanggil dan mau mengejar tetapi dihadang teman-teman Agus dan didorong sampai aku terjatuh. Belum sempat hilang kagetku dan aku masih terbaring di tanah, Agus sudah menendangku bertubi-tubi. Yang bisa kulakukan hanya menangkis dengan tanganku, sambil memposisikan tubuh dan kaki hingga akhirnya aku bisa menjegal Agus sampai dia jatuh. Aku jadi punya kesempatan berdiri.
“Hey, aku tidak mau berkelahi denganmu”, kataku pada Agus sambil bersiap pergi, namun aku sudah dihadang teman-teman Agus dari berbagai arah.
“Sok banget kamu”, kata salah seorang teman Agus sambil maju mau menyerangku tapi dihadang tangan Agus yang mulai berdiri.
“Biarkan aku bertarung satu lawan satu dengan dia”, kata Agus pada teman-temannya.
Agus menyerangku dengan bertubi-tubi tapi bisa kuhindari. Lama kelamaan serangannya tambah cepat sehingga aku mulai kewalahan menghindar terus. Akhirnya beberapa serangan kuhadapi dengan kutangkis. Aku merasa serangan Agus seperti tertata (berpola) dengan baik. Dari serangan satu ke serangan selanjutnya sepertinya berhubungan, sehingga ketika kutangkis suatu serangan, serangan selanjutnya seakan sudah memperkirakan (mengatisipasi) tangkisanku tersebut. Ini mengingatkanku akan latihan harianku dengan ayah. Setiap hari aku berlatih gerakan-gerakan silat* (beladiri) berulang-ulang sampai aku hafal. Ketika aku sudah hafal suatu gerakan, ayah menyuruh aku menyerang dia dengan menggunakan gerakan-gerakan silat* (beladiri) yang kuhafalkan tersebut. Karena teringat latihan harianku dengan ayah tersebut lama kelamaan akhirnya aku sudah memakai gerakan-gerakan silat* (beladiri) yang sudah kuhafal untuk menghadapi serangan Agus. Aku tidak lagi hanya menghindar dan menangkis tapi juga menyerang balik. Agus bisa menghindari atau menangkis seranganku. Tapi akhirnya seranganku berupa pukulan mengenai wajah Agus hingga terdorong ke belakang dan membuat serangannya terhadapku berhenti. Akupun menghentikan gerakanku. Aku merasa bersalah karena teringat perkataan ayah dan ibu bahwa aku tidak boleh berkelahi, apalagi kalau sampai menggunakan gerakan silat* (beladiri) yang kulatih tiap hari dengan ayah.
Agus bersiap kembali menyerang aku tapi salah satu temannya tiba-tiba menghentikannya.
“Kamu tidak akan menang melawan dia”, kata dia kepada Agus. “Dia ternyata bisa silat* dan ilmu silat*nya menurutku lebih tinggi daripada ilmu silat*mu”, tambahnya. Agus diam tidak jadi menyerangku seakan segan dan takut pada orang tersebut. Orang tersebut tampak lebih tua dari Agus, sepertinya memang bukan murid SMA.
(*penyadur: silat/pencak silat adalah nama salah satu jenis beladiri yang berasal dari Indonesia namun istilah ini sering digunakan dalam cerita-cerita silat di Indonesia sebagai istilah kata ganti beladiri secara umum. Karena jurnal ini ditulis ulang dalam bahasa Indonesia, maka digunakan istilah silat. Penggunaan istilah silat disini mungkin kurang tepat, tapi untuk sementara istilah yang digunakan adalah silat (ilmu silat). Pembahasan lebih lanjut tentang istilah ini akan dijelaskan kemudian)
“Aku menantang kamu duel*”, kata dia sambil seakan memberi hormat ke arahku dengan kedua tangannya yang menggenggam menjadi satu. Aku tidak tahu apa yang dia maksud.
(*penyadur: istilah yang dipakai disini adalah duel sebagai istilah untuk pertarungan satu lawan satu mengadu ilmu silat. Nantinya akan ada penjelasan lebih khusus tentang duel)
Dia mulai menyerangku. Serangannya cepat dan tidak terduga. Aku hampir saja terlambat menangkisnya. Aku menghadapinya memakai gerakan-gerakan silat (beladiri) yang sudah kuhafal. Serangan dia bisa kuhindari atau kutangkis namun seranganku juga bisa dengan mudah dia hindari atau dia tangkis. Setelah beberapa lama aku mulai bisa membaca arah serangannya sehingga aku tidak kewalahan lagi dalam menghindar atau menangkis. Aku pun mulai memfokuskan pada seranganku. Akhirnya dia mulai kewalahan menghindar atau menangkis seranganku. Tapi tiba-tiba dia merubah cara menyerang. Serangannya seakan-akan menjadi lebih kuat. Aku bayangkan jika terkena serangan seperti itu bisa berakibat fatal seolah-olah dia berniat membunuhku. Serangannya juga seakan-akan lebih tajam. Dia bisa mengincar bagian tubuhku yang pertahanannya terbuka, walaupun cuma ada celah sedikit. Akhirnya aku terkena serangannya berupa tusukan ke ulu hatiku. Aku menjerit kesakitan dan jatuh berlutut memegangi perutku. Dia masih menyerangku berupa tendangan ke kepalaku dari samping sampai aku jatuh ke tanah.
“Hey...”, terdengar suara teriakan cewek (pemudi) seakan berusaha menghentikan perkelahian kami. Setelah itu aku pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar