Jumat, 26 Agustus 2016

#19 Melawan Bunga



Hari berikutnya aku tidak lagi berusaha berbicara dengan Mawar. Aku teringat perkataan Ibu waktu itu bahwa pertemananku dengan Mawar akan berbeda walaupun sudah meminta maaf. Karena tidak akan mengembalikan hubungan kami seperti semula dan karena Mawar selalu menghindar makanya kuputuskan tidak perlu memaksakan diri untuk berbicara dengan Mawar. Tinggal masalah dengan Agus.
Setelah tahu dari Andi bahwa Agus adalah kelas 2B maka ketika istirahat aku menuju lantai 2 untuk mencari Agus. Ketika melewati lorong lantai 2, murid-murid kelas 2 memandangiku karena memang jarang ada murid kelas 1 yang naik ke lantai 2. Aku tidak menemukan Agus di dalam maupun di depan ruang kelas 2B. Tiba-tiba ada yang berbicara padaku dari belakang.
“Mencari Agus, ya?”, kata suara cewek dari belakangku yang ternyata adalah Bunga. Aku menoleh.
“Iya”, jawabku singkat.
“Dia tidak di kelas, mungkin di kantin, ayo kuantar”, kata Bunga sambil menarik tanganku. Murid-murid kelas 2 memandangi aku. Aku pun melepaskan tanganku dari pegangan Bunga dan berjalan di samping Bunga.
Di kantin aku melihat Agus duduk semeja dengan Mawar. Mawar duduk disamping temannya dan Agus duduk di hadapannya. Mawar melihatku datang mendekatinya kemudian dia memalingkan wajah dan seperti pura-pura asyik mengobrol dengan Agus.
“Aku sedang ngobrol dengan teman-temanku”, kata Mawar padaku ketika aku sudah sampai di mejanya. Mungkin dia mengira bahwa aku ke kantin untuk berbicara dengannya. Aku tidak menanggapi perkataan Mawar tersebut.
“Agus, aku menantangmu dan temanmu waktu itu untuk duel ulang”, kataku ke Agus.
“Sombong banget, kamu mau dihajar lagi?”, kata Agus sinis kepadaku. Dia melihat ada Bunga di belakangku.

Jumat, 19 Agustus 2016

#18 Bertemu Bunga

(sebelumnya #17)


Hari itu hari pertama masuk sekolah setelah liburan semesteran.
Berangkat dari rumah aku sudah punya rencana bahwa aku akan menemui Mawar untuk meminta maaf dan akan menemui Agus untuk menanyakan tentang temannya. Tapi ternyata hari itu tidak berjalan sesuai dengan rencanaku.
Pagi itu sesampainya di kelas banyak murid-murid lain yang sudah datang. Mereka mengobrol (berbincang-bincang) satu sama lain kelihatan gembira mungkin karena baru bertemu setelah selama liburan tidak ketemu. Andi juga sudah datang dan kelihatan sedang mengobrol (berbincang-bincang) dengan beberapa teman di mejanya. Aku bingung mau duduk dimana karena kursi yang semeja dengan Andi sudah ada yang duduk.
“Ya, duduk sini”, panggil Andi yang sepertinya tahu bahwa aku bingung. Teman yang sedang duduk disamping Andi berdiri dan mempersilakan aku duduk. Ternyata dia duduk di tempat lain. Dia duduk di kursi tersebut hanya karena sedang mengobrol (berbincang-bincang) dengan Andi. Aku mengucapkan terima kasih dan menaruh tasku di kursi tersebut tapi aku tidak langsung duduk. Aku melihat ke sekeliling ruang kelas mencari Mawar. Terlihat Mawar sedang mengobrol (berbincang-bincang) dengan temannya. Akupun menghampirinya.
“Mawar, aku mau berbicara denganmu”, kataku.

Rabu, 10 Agustus 2016

#17 Memahami ilmu silat

(sebelumnya #16)


Hari berikutnya badanku sudah terasa agak enak, sudah berkurang rasa sakitnya. Seperti biasanya, di pagi hari setelah bangun tidur aku berlatih silat (beladiri) dengan ayah. Kami sudah biasa melakukan latihan di pagi hari seperti ini sejak dulu, sejak aku masih kecil. Selama ini aku menganggap latihan ini sebagai latihan olahraga rutin harian agar tubuh tetap sehat. Aku sudah tahu bahwa gerakan-gerakan yang kulatih setiap hari tersebut adalah gerakan-gerakan silat (beladiri) tapi selama ini pemahamanku adalah bahwa silat (beladiri) hanyalah olahraga. Aku yang bersifat kritis pernah menanyakan kenapa setiap hari olahraganya harus ada gerakan-gerakan silat (beladiri), kenapa tidak cukup dengan lari, push-up dan gerakan-gerakan olahraga pada umumnya seperti senam. Jawaban ayah dan ibu saat itu adalah bahwa agar tubuh kita terlatih untuk bergerak dan agar gerakannya lebih beragam. Selain itu dengan belajar gerakan-gerakan silat (beladiri), suatu saat akan berguna bagiku untuk membela diri. Tetapi ayah dan ibu selalu memperingatkan aku bahwa aku tidak boleh berkelahi dan tidak boleh menggunakan gerakan-gerakan silat (beladiri) yang kupelajari untuk berkelahi atau menyakiti orang lain. Aku menerima penjelasan ayah dan ibu saat itu sehingga selama ini aku berlatih silat (beladiri) tanpa banyak pertanyaan dan menerima saja apa yang diajarkan ayah dan ibu. Namun sekarang ketika aku sudah memahami bahwa silat (beladiri) adalah lebih dari sekedar olahraga beladiri, aku menjadi bersemangat untuk berlatih seakan-akan aku menemukan hal baru untuk dipelajari, seperti ketika aku bersemangat untuk belajar bola basket.
Ayah juga kelihatan lebih bersemangat. Selama ini biasanya ayah hanya mengajariku dan menyuruhku melakukan gerakan-gerakan silat (beladiri) untuk diulang-ulang dan dihafalkan tanpa menjelaskan tentang gerakan-gerakan tersebut. Sekarang ayah tidak hanya menjelaskan gerakan-gerakan silat (beladiri) tapi juga mengajari hal-hal lain terkait silat (beladiri). Mungkin karena kemarin ayah dan ibu sudah memutuskan bahwa aku sudah siap untuk memahami silat (beladiri) dan sudah berjanji mengajari banyak hal tentang silat (beladiri) secara bertahap.
Pagi itu ayah menjelaskan kepadaku dari awal tentang ilmu silat (beladiri). Ilmu silat (beladiri) adalah kemampuan untuk bertarung mengalahkan lawan. Pertarungan mengalahkan lawan berarti beradu kemampuan tubuh untuk menentukan tubuh siapa yang rusak lebih dahulu. Oleh karena itu langkah awal belajar silat (beladiri) adalah melatih kemampuan tubuh.

Rabu, 03 Agustus 2016

#16 Apa itu Duel?

(sebelumnya #15)


Aku terbangun. Kulihat ke sekelilingku mencoba mengetahui aku ada dimana. Ternyata aku terbaring di dalam sebuah tenda yang sepertinya kamar salah seorang pekerja sirkus keliling. Kepalaku masih terasa sakit. Ulu hatiku juga masih terasa sakit.
“Syukurlah kamu sudah siuman”, kata seorang cewek (pemudi) yang duduk di sampingku.
“Rumahmu dimana, Dik? Atau nomor teleponmu berapa? Biar kuhubungi keluargamu”, kata seorang pria (laki-laki) yang sepertinya pemilik kamar yang kupakai tersebut.
Akupun menyebutkan nomor telepon rumahku.
“Biar saya yang menelepon ke rumahnya dari telepon umum Pak, sekalian pamit mau pulang karena sudah malam. Terima kasih atas bantuannya Pak”, kata cewek tersebut sambil melangkah akan keluar ruangan.
“Tunggu...kamu siapa?”, tanyaku penasaran dengan suara pelan karena masih lemas.
“Tenang saja, kita masih akan bertemu lagi”, jawabnya sambil tersenyum kemudian keluar meninggalkan kami.