Jumat, 12 Februari 2016

#5 Perkelahian perdana

(sebelumnya #4)


Aku suka pelajaran Matematika dan Fisika. Sejak kecil aku memang suka pelajaran Matematika dan ilmu pengetahuan alam (IPA). (penyadur: jadi selain pandai di bidang olah tubuh, Arya juga pandai dalam pemahaman logis atau dalam teori multiple intelligence biasa disebut kecerdasan logis matematis). Nilaiku untuk pelajaran Matematika dan IPA ketika di SMP juga sangat bagus. Karena suka, aku jadi lebih mudah memahami. Di kelas, walaupun aku tidak pernah mengajukan diri menjawab pertanyaan para guru, tetapi ketika ditunjuk, aku selalu dapat menjawab pertanyaan guru untuk pelajaran Matematika dan Fisika.
Suatu hari, ada PR pelajaran Matematika.
Pagi hari itu ketika aku datang ke kelas, tidak seperti biasanya, sudah banyak murid-murid lain yang datang. Mereka kelihatan ramai. Ternyata mereka membicarakan PR Matematika. Banyak yang belum mengerjakan PR-nya karena susah. Aku sudah mengerjakan.
Ketika aku meletakkan tasku dan akan duduk di tempat dudukku, tiba-tiba ketua kelas menghampiriku dan bertanya, “kamu sudah mengerjakan PR Matematika?”
“Sudah”, jawabku.
“Pinjam dong, kami mau nyontek”, pintanya mewakili teman-teman yang lain.
“Gak boleh”, jawabku pendek.
“Sombong banget kamu”, kata ketua kelas sambil menyerang aku.
Sifatku yang pendiam dan tidak banyak bergaul memang menjadi sasaran olok-olokan/kejahilan (bullying) baik secara perkataan maupun secara fisik. Di SMP aku juga pernah diolok-olok/dijahili (di-bully) teman sekolahku. Awalnya teman-teman mengolok-olokku secara perkataan, aku diam saja, cuek dan tidak terpengaruh. Sampai akhirnya pernah mereka berusaha menjahiliku (mem-bully aku) secara fisik dengan cara mengelilingi aku dan mencegahku yang akan pergi ke toilet. Dengan cuek aku mendorong temanku yang memimpin kejahilan tersebut sampai jatuh dan menunjukkan bahwa aku tidak takut. Akhirnya aku tidak pernah diolok-olok/dijahili (di-bully) lagi selama di SMP.
Sekarang di SMA ketua kelas menyerangku. Jika aku sampai kalah dan terlihat takut, selanjutnya aku bisa jadi sasaran olok-olokan/kejahilan (bullying). Aku tidak boleh kalah. Perkelahian antara aku dan ketua kelas tersebut sangat singkat, jika dituliskan kurang lebih sebagai berikut.


Ketua kelas dengan tangan kanan mengepal menonjok ke arah wajahku. Gerakan tonjokan itu sederhana, lurus, dan mudah ditebak. Kecepatannya pun biasa saja, sehingga mudah bagiku menghindarinya. Aku menggerakkan dan agak memutar badanku kesamping sehingga tonjokkan dan badan ketua kelas lewat di depanku dan hampir terjatuh. Kesempatan itu bisa saja kugunakan untuk mendorong atau memukul atau bahkan menendangnya hingga jatuh, tapi tidak kulakukan karena aku tidak ingin berkelahi.
Setelah posisinya kembali tegak berdiri, dia kelihatan marah. Dengan posisi berhadapan denganku, dia kembali berusaha memukul wajahku. Kali ini pukulan tangan kanannya dari samping menuju pipiku. Aku menghindarinya dengan bergerak ke belakang. Tapi dia melanjutkan dengan pukulan dari samping lagi dengan tangan kiri. Aku menghindari lagi dengan bergerak ke belakang. Kemudian dia berusaha menendangku dengan kaki kanan. Aku sampai harus agak melompat ke belakang untuk menghindarinya dan hampir menabrak teman-teman yang berkerumun di belakangku. Aku berpikir jika begini terus tidak akan selesai-selesai. Aku harus melakukan sesuatu. Kemudian dia bergerak ke depan dan menonjok ke arahku dengan tangan kanan lurus ke depan, sepertinya dengan sekuat tenaga karena badannya sampai condong ke depan. Jika kuhindari tinjunya bisa kena teman yang ada di belakangku. Dalam waktu yang sesingkat itu harus segera aku putuskan untuk melakukan sesuatu. Aku yakin dengan kecepatan gerak dan penglihatanku dan aku juga yakin bahwa tenagaku cukup kuat, lebih kuat dari dia. Maka akhirnya tinju tangan kanannya tersebut kuhadang dengan telapak tangan kiriku dan ternyata memang berhasil kutahan dan kupegang tinjunya.
Dia tampak kaget. Teman-teman lainpun juga terkesima.
“Sudahlah, mending segera ngerjain PR-nya”, kataku padanya sambil kulepaskan tangan kanannya.
Dia sepertinya sudah merasa kalah dan kembali ke mejanya. Begitu juga teman-teman yang lain.
Akupun duduk di mejaku. Dan ternyata sudah ada Andi yang duduk di kursi sebelahku.
“Ada apa?” tanya Andi.
“Dia marah karena tidak kupinjami PR-ku”, jawabku.
“Ngapain sih tidak kamu pinjami aja PR-mu?”, kata Andi.
“PR kan pekerjaan rumah. Jadi jika dikerjakan dengan bantuan orang lain seperti kakak atau orang tua atau siapapun yang ada di rumah, guru gak akan tahu. Jadi menurutku gak ada yang ngelarang minta bantuan orang lain dalam mengerjakan PR. Kalau gak boleh minta bantuan orang lain tentu tidak dijadikan PR tapi dijadikan tes di kelas”, kata Andi berusaha menceramahiku.
Aku diam saja. “Benar juga kata Andi, tapi kalau teman-teman cuma nyontek tanpa tahu cara ngerjakannya, mereka tidak akan memahami pelajarannya”, pikirku masih berusaha membela diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar