Aku suka pelajaran Matematika dan
Fisika. Sejak kecil aku memang suka pelajaran Matematika dan ilmu pengetahuan
alam (IPA). (penyadur: jadi selain pandai
di bidang olah tubuh, Arya juga pandai dalam pemahaman logis atau dalam teori
multiple intelligence biasa disebut kecerdasan logis matematis). Nilaiku
untuk pelajaran Matematika dan IPA ketika di SMP juga sangat bagus. Karena
suka, aku jadi lebih mudah memahami. Di kelas, walaupun aku tidak pernah
mengajukan diri menjawab pertanyaan para guru, tetapi ketika ditunjuk, aku
selalu dapat menjawab pertanyaan guru untuk pelajaran Matematika dan Fisika.
Suatu hari, ada PR pelajaran Matematika.
Pagi hari itu ketika aku datang ke
kelas, tidak seperti biasanya, sudah banyak murid-murid lain yang datang.
Mereka kelihatan ramai. Ternyata mereka membicarakan PR Matematika. Banyak yang
belum mengerjakan PR-nya karena susah. Aku sudah mengerjakan.
Ketika aku meletakkan tasku dan akan
duduk di tempat dudukku, tiba-tiba ketua kelas menghampiriku dan bertanya,
“kamu sudah mengerjakan PR Matematika?”
“Sudah”, jawabku.
“Pinjam dong, kami mau nyontek”, pintanya mewakili teman-teman yang lain.
“Gak boleh”, jawabku pendek.
“Sombong banget kamu”, kata ketua
kelas sambil menyerang aku.
Sifatku yang pendiam dan tidak banyak
bergaul memang menjadi sasaran olok-olokan/kejahilan (bullying) baik secara perkataan maupun secara fisik. Di SMP aku
juga pernah diolok-olok/dijahili (di-bully)
teman sekolahku. Awalnya teman-teman mengolok-olokku secara perkataan, aku diam
saja, cuek dan tidak terpengaruh. Sampai akhirnya pernah mereka berusaha
menjahiliku (mem-bully aku) secara
fisik dengan cara mengelilingi aku dan mencegahku yang akan pergi ke toilet.
Dengan cuek aku mendorong temanku yang memimpin kejahilan tersebut sampai jatuh
dan menunjukkan bahwa aku tidak takut. Akhirnya aku tidak pernah
diolok-olok/dijahili (di-bully) lagi
selama di SMP.
Sekarang di SMA ketua kelas
menyerangku. Jika aku sampai kalah dan terlihat takut, selanjutnya aku bisa
jadi sasaran olok-olokan/kejahilan (bullying).
Aku tidak boleh kalah. Perkelahian antara aku dan ketua kelas tersebut sangat
singkat, jika dituliskan kurang lebih sebagai berikut.
Ketua kelas dengan tangan kanan mengepal
menonjok ke arah wajahku. Gerakan tonjokan itu sederhana, lurus, dan mudah
ditebak. Kecepatannya pun biasa saja, sehingga mudah bagiku menghindarinya. Aku
menggerakkan dan agak memutar badanku kesamping sehingga tonjokkan dan badan
ketua kelas lewat di depanku dan hampir terjatuh. Kesempatan itu bisa saja
kugunakan untuk mendorong atau memukul atau bahkan menendangnya hingga jatuh,
tapi tidak kulakukan karena aku tidak ingin berkelahi.
Setelah posisinya kembali tegak
berdiri, dia kelihatan marah. Dengan posisi berhadapan denganku, dia kembali
berusaha memukul wajahku. Kali ini pukulan tangan kanannya dari samping menuju
pipiku. Aku menghindarinya dengan bergerak ke belakang. Tapi dia melanjutkan
dengan pukulan dari samping lagi dengan tangan kiri. Aku menghindari lagi
dengan bergerak ke belakang. Kemudian dia berusaha menendangku dengan kaki
kanan. Aku sampai harus agak melompat ke belakang untuk menghindarinya dan
hampir menabrak teman-teman yang berkerumun di belakangku. Aku berpikir jika
begini terus tidak akan selesai-selesai. Aku harus melakukan sesuatu. Kemudian
dia bergerak ke depan dan menonjok ke arahku dengan tangan kanan lurus ke
depan, sepertinya dengan sekuat tenaga karena badannya sampai condong ke depan.
Jika kuhindari tinjunya bisa kena teman yang ada di belakangku. Dalam waktu
yang sesingkat itu harus segera aku putuskan untuk melakukan sesuatu. Aku yakin
dengan kecepatan gerak dan penglihatanku dan aku juga yakin bahwa tenagaku
cukup kuat, lebih kuat dari dia. Maka akhirnya tinju tangan kanannya tersebut
kuhadang dengan telapak tangan kiriku dan ternyata memang berhasil kutahan dan
kupegang tinjunya.
Dia tampak kaget. Teman-teman lainpun
juga terkesima.
“Sudahlah, mending segera ngerjain PR-nya”, kataku padanya sambil kulepaskan tangan kanannya.
Dia sepertinya sudah merasa kalah dan
kembali ke mejanya. Begitu juga teman-teman yang lain.
Akupun duduk di mejaku. Dan ternyata
sudah ada Andi yang duduk di kursi sebelahku.
“Ada apa?” tanya Andi.
“Dia marah karena tidak kupinjami PR-ku”, jawabku.
“Ngapain sih tidak kamu pinjami aja PR-mu?”, kata Andi.
“PR kan pekerjaan rumah. Jadi jika
dikerjakan dengan bantuan orang lain seperti kakak atau orang tua atau siapapun
yang ada di rumah, guru gak akan tahu. Jadi menurutku gak ada yang ngelarang
minta bantuan orang lain dalam mengerjakan PR. Kalau gak boleh minta bantuan
orang lain tentu tidak dijadikan PR tapi dijadikan tes di kelas”, kata Andi berusaha
menceramahiku.
Aku diam saja. “Benar juga kata Andi, tapi
kalau teman-teman cuma nyontek tanpa tahu cara ngerjakannya, mereka tidak akan
memahami pelajarannya”, pikirku masih berusaha membela diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar