Akhirnya tiba masa ujian semester ganjil (semester tiga atau
semester pertama kelas dua). Selama ujian semester ganjil aku tidak bermain
bersama Bunga. Bahkan beberapa hari sebelum ujian sudah tidak bermain bersama karena
fokus belajar. Pulang sekolah setelah ujian semester ganjil hari terakhir, aku
menuju ke atas gedung. Ternyata disana sudah ada Bunga. Dia berdiri di pinggir
pagar sambil melihat ke arah jauh.
“Ternyata pemikiran kita sama, selesai ujian langsung
kesini”, sapaku ke Bunga. Bunga hanya menoleh ke arahku sebentar sambil
tersenyum tanpa bilang apa-apa. Kemudian dia kembali melihat ke arah jauh.
Tumben dia tidak berkata apa-apa. Padahal biasanya dia duluan yang menyapaku
dengan kata-kata yang seakan bisa menebak isi hatiku.
“Ada apa?”, tanyaku sambil berdiri di sampingnya dan menoleh ke arahnya. Namun pandangan Bunga tetap lurus ke depan. Aku coba melihat ke arah yang dilihat Bunga namun tidak terlihat hal yang aneh.
“Gak ada apa-apa”, jawabnya masih sambil menghadap depan. “Aku
hanya ingin menikmati pemandangan dari atas gedung ini sebelum liburan”,
lanjutnya yang kemudian kembali terdiam.
“Oiya, liburan mau kemana? Kita bermain di seputar kota lagi
yuk”, tanyaku mencoba memulai pembicaraan.
“Aku gak bisa”, jawab Bunga pendek.
“O ya sudah. Kalau begitu aku akan fokus berlatih”, jawabku.
Aku tidak berusaha mencari tahu kenapa Bunga tidak bisa. Aku juga tidak
berusaha mencari tahu kenapa hari itu Bunga terlihat berbeda. Karena bingung
mau mengajak bicara apa, akhirnya aku hanya terdiam disampingnya.
“Ayo kita pulang”, ajak Bunga memecah keheningan.
Akhirnya kamipun pulang.
Liburanpun tiba.
Setiap hari aku berlatih untuk mengalahkan tantangan ketiga. Sama
seperti sebelumnya, aku masih berlatih dengan cara menganalisis jurus untuk
mengetahui kelebihan dan kelemahan jurus tersebut. Aku juga berlatih menyambung
jurus agar dapat menyerang tanpa henti tanpa terputus sepanjang mungkin. Namun
aku belum juga berhasil mengenai ayah dengan cara tersebut. Walaupun aku sudah
berlatih menyambung jurus tanpa terputus sepanjang mungkin, namun langsung
terputus ketika ayah berhasil menyerangku, karena aku terpaksa harus berganti
jurus atau gerakan untuk bertahan.
Aku jadi patah semangat. Aku merasa latihanku mengalami
kemunduran. Ketika aku memilih memakai 1 jurus (rangkaian jurus) saja, aku
berhasil mengenai ayah sekali. Namun sekarang setelah mencoba menyambung dari
berbagai macam jurus, aku malah belum berhasil mengenai ayah. Aku bingung apa
yang salah dalam latihanku. Aku jadi teringat Bunga. Biasanya aku bertanya kepada
Bunga jika aku sedang bingung begini.
Karena sudah sering mengobrol dan bermain bersama Bunga, jadi
aku sudah tahu beberapa hal tentang Bunga, termasuk nomor telepon rumah Bunga.
Akhirnya aku memutuskan untuk menelepon Bunga karena ingin bertanya pada Bunga.
Tapi ternyata tidak ada yang mengangkat teleponnya. Aku berpikir mungkin Bunga sedang
liburan ke luar kota. Aku jadi teringat perkataan Bunga bahwa akau harus bisa memikirkan
sendiri karena Bunga tidak selalu bisa bersamaku. Kemudian aku coba berpikir,
kira-kira apa yang akan disarankan Bunga jika aku bertanya tentang latihanku
ini. Aku jadi teringat saran Bunga untuk tantangan 10 menit dulu, bahwa dalam
mencoba tidak masalah jika tidak berhasil, karena akan meningkatkan penguasaan
jurus, sehingga di lain waktu mungkin akan berhasil. Kata-kata tersebut kembali
memberiku semangat untuk terus mencoba.
“Liburan ini kamu tidak jalan-jalan dengan temanmu?”, tanya
ibu suatu hari. “Kulihat kamu hanya di rumah saja berlatih silat”, lanjut ibu.
“Tidak Bu”, jawabku singkat.
“Kenapa? Bunga kemana?”, tanya ibu yang langsung menanyakan
Bunga seakan tahu bahwa teman dekatku hanya Bunga.
“Tidak tahu Bu. Aku meneleponnya tapi tidak ada yang
mengangkat. Mungkin berlibur keluar kota”, jawabku.
“Bagaimana kalau kita juga pergi liburan?”, tanya ibu. “Ibu
akan bilang ke ayah”, lanjut ibu menjanjikan.
“Iya Bu”, jawabku pendek dan datar. Dulu aku selalu
bersemangat (excited) ketika diajak
liburan oleh ayah dan ibu. Namun sekarang entah mengapa semangatku (excitement) berlibur tidak seperti dulu
lagi. Mungkin karena aku masih kepikiran tantangan ketiga.
Akhirnya kami sekeluarga pergi berlibur ke pantai. Ayah
mengajakku berenang di pantai dan melakukan latihan-latihan seperti biasanya
ketika kami berenang bersama di kolam renang, seperti latihan pernafasan,
latihan gerakan jurus dalam air, dan sebagainya. Selain itu ayah juga
mengajakku melakukan latihan-latihan lain yang bisa dilakukan di pantai.
Misalnya latihan menguatkan kuda-kuda dengan berdiri menghadapi ombak yang datang,
latihan berlari di pasir, latihan gerakan jurus, dan sebagainya. Ayah selalu
mengajariku bahwa dimanapun kita berada tetap bisa melakukan sesuatu untuk
berlatih silat.
Aku jadi teringat Bunga. Biasanya dia punya ide melakukan
hal-hal seru (mengasyikkan) di tempat yang kelihatannya biasa saja. Dan kadang
hal seru yang kami lakukan juga bisa melatih kemampuan silat kami. Aku jadi
kepikiran seandainya Bunga ada disini, kira-kira dia akan mengajakku melakukan
hal seru apa ya? Aku jadi membayangkan alangkah asyiknya jika aku dan Bunga
bisa berlibur bersama di pantai.
“Kenapa kok melamun?”, tanya ibu menyadarkanku. “Kamu
kepikiran Bunga?”, tanya ibu seakan bisa mengetahui isi hatiku.
“Iya Bu”, jawabku. “Ketika bermain bersama, Bunga biasanya
mengajakku melakukan hal-hal seru, jadi aku kepikiran kira-kira Bunga akan
mengajakku melakukan apa di pantai ini jika dia ikut”, lanjutku menceritakan
secara jujur.
“Bukankah ayah juga mengajakmu melakukan hal-hal yang seru?”,
tanya ibu. “Aku masih ingat bagaimana kamu bersemangat ketika ayah mengajarimu
hal-hal yang bisa dilakukan untuk berlatih di tempat-tempat bermain seperti
ini”, lanjut ibu. “Jangan-jangan kamu hanya kangen Bunga”, lanjut ibu sambil
tersenyum menggodaku.
Aku diam saja tidak menanggapi pertanyaan ibu. Aku kepikiran
jangan-jangan perkataan ibu benar. Aku coba membayangkan ayah sebagai Bunga dan
mengajakku melakukan hal-hal yang kulakukan dengan ayah tadi. Sepertinya ada
yang kurang pas.
“Beda Bu”, jawabku setelah merenung. “Bunga mengajakku
melakukan hal seru untuk bersenang-senang, bukan untuk berlatih. Walaupun kadang
hal seru yang kami lakukan sekalian untuk berlatih”, lanjutku. “Kalau ayah kan
mengajakku berlatih”, lanjutku membela diri seakan tidak terima dibilang kangen
oleh ibu. Ibu hanya tersenyum mendengar jawabanku.
Sepulang dari berlibur aku kembali berlatih untuk bisa
mengalahkan tantangan ketiga. Ketika aku suntuk (bosan) karena belum bisa
mengenai ayah dalam tantangan ketiga, aku coba menelepon Bunga lagi. Namun kembali
tidak ada yang mengangkat teleponnya. Aku jadi ragu apakah nomor telepon yang
kutahu salah? Aku jadi teringat liburan semester lalu, Bunga meneleponku
mengajak bermain di taman kota agar aku tidak bosan karena berlatih terus. Akhirnya
aku putuskan bermain ke taman kota untuk menghilangkan suntukku.
Seperti liburan semester lalu, taman kota ramai orang-orang
yang bermain mengisi kegiatan liburan. Banyak komunitas-komunitas yang berlatih
bersama di taman kota. Aku melihat-lihat latihan mereka tapi entah kenapa
semangatku (excitement) tidak seperti
liburan semester lalu. Apakah karena liburan semester lalu adalah pertama kali
melihat mereka jadi masih terasa takjub (excited)?
Atau karena liburan semester lalu aku melihatnya bersama Bunga?
Tiba-tiba aku melihat Bunga diantara banyak orang yang ada di
taman kota. Aku panggil-panggil namun dia tidak menoleh, sehingga akhirnya
kukejar dan kudekati. Setelah kudekati ternyata orang tersebut bukan Bunga.
Apakah karena aku terbayang-bayang Bunga terus sehingga cewek tersebut kukira
Bunga hanya karena perawakannya yang mirip Bunga?
Karena tidak bersemangat bermain di taman kota, aku lalu
menuju ke taman pinggir sungai. Disana sudah ada anggota komunitas yang sedang
bermain. Aku langsung ikut bergabung bermain permainan melewati rintangan.
Namun aku merasa tidak seasyik ketika aku bermain bersama Bunga. Aku jadi
teringat bagaimana asyiknya ketika bermain melewati rintangan bersama Bunga.
Bagaimana kami saling berkejar-kejaran atau adu kecepatan, bagaimana kami
saling memamerkan cara melalui sebuah rintangan dan saling menirunya, dan
sebagainya. Hal-hal tersebut juga coba kulakukan bersama anggota komunitas yang
sedang bermain di situ namun aku merasa tidak seasyik ketika aku melakukan
bersama Bunga. Sehingga tidak sampai lama akhirnya aku pamit pada mereka untuk
pulang duluan.
Dalam perjalanan pulang, angkutan umum yang kunaiki melewati
rumah Bunga. Aku sudah tahu alamat rumah Bunga. Walaupun belum pernah ke rumah
Bunga, namun aku pernah ditunjukkan rumahnya ketika angkutan umum yang kami
naiki melewati rumahnya. Waktu itu Bunga menujukkan rumahnya dan turun di dekat
rumahnya. Aku tidak ikut turun dari angkutan umum dan hanya melihat Bunga
memasuki halaman rumahnya dari dalam angkutan umum. Kali ini aku turun dari
angkutan umum dan berjalan menuju rumah Bunga. Aku merasa grogi (nervous) namun kuberanikan diri untuk
mengetuk pintu rumah Bunga. Sudah beberapa kali aku mengetuk pintu dan
memanggil nama Bunga namun tidak ada jawaban. Berarti memang tidak ada orang di
rumah Bunga. Akhirnya aku pulang dengan rasa kecewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar