Rabu, 16 November 2022

#59 Kangen Bunga?

 (sebelumnya #58)

 

Akhirnya tiba masa ujian semester ganjil (semester tiga atau semester pertama kelas dua). Selama ujian semester ganjil aku tidak bermain bersama Bunga. Bahkan beberapa hari sebelum ujian sudah tidak bermain bersama karena fokus belajar. Pulang sekolah setelah ujian semester ganjil hari terakhir, aku menuju ke atas gedung. Ternyata disana sudah ada Bunga. Dia berdiri di pinggir pagar sambil melihat ke arah jauh.

“Ternyata pemikiran kita sama, selesai ujian langsung kesini”, sapaku ke Bunga. Bunga hanya menoleh ke arahku sebentar sambil tersenyum tanpa bilang apa-apa. Kemudian dia kembali melihat ke arah jauh. Tumben dia tidak berkata apa-apa. Padahal biasanya dia duluan yang menyapaku dengan kata-kata yang seakan bisa menebak isi hatiku.

“Ada apa?”, tanyaku sambil berdiri di sampingnya dan menoleh ke arahnya. Namun pandangan Bunga tetap lurus ke depan. Aku coba melihat ke arah yang dilihat Bunga namun tidak terlihat hal yang aneh.

“Gak ada apa-apa”, jawabnya masih sambil menghadap depan. “Aku hanya ingin menikmati pemandangan dari atas gedung ini sebelum liburan”, lanjutnya yang kemudian kembali terdiam.

“Oiya, liburan mau kemana? Kita bermain di seputar kota lagi yuk”, tanyaku mencoba memulai pembicaraan.

“Aku gak bisa”, jawab Bunga pendek.

“O ya sudah. Kalau begitu aku akan fokus berlatih”, jawabku. Aku tidak berusaha mencari tahu kenapa Bunga tidak bisa. Aku juga tidak berusaha mencari tahu kenapa hari itu Bunga terlihat berbeda. Karena bingung mau mengajak bicara apa, akhirnya aku hanya terdiam disampingnya.

“Ayo kita pulang”, ajak Bunga memecah keheningan.

Akhirnya kamipun pulang.

Liburanpun tiba.

Setiap hari aku berlatih untuk mengalahkan tantangan ketiga. Sama seperti sebelumnya, aku masih berlatih dengan cara menganalisis jurus untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan jurus tersebut. Aku juga berlatih menyambung jurus agar dapat menyerang tanpa henti tanpa terputus sepanjang mungkin. Namun aku belum juga berhasil mengenai ayah dengan cara tersebut. Walaupun aku sudah berlatih menyambung jurus tanpa terputus sepanjang mungkin, namun langsung terputus ketika ayah berhasil menyerangku, karena aku terpaksa harus berganti jurus atau gerakan untuk bertahan.

Aku jadi patah semangat. Aku merasa latihanku mengalami kemunduran. Ketika aku memilih memakai 1 jurus (rangkaian jurus) saja, aku berhasil mengenai ayah sekali. Namun sekarang setelah mencoba menyambung dari berbagai macam jurus, aku malah belum berhasil mengenai ayah. Aku bingung apa yang salah dalam latihanku. Aku jadi teringat Bunga. Biasanya aku bertanya kepada Bunga jika aku sedang bingung begini.

Karena sudah sering mengobrol dan bermain bersama Bunga, jadi aku sudah tahu beberapa hal tentang Bunga, termasuk nomor telepon rumah Bunga. Akhirnya aku memutuskan untuk menelepon Bunga karena ingin bertanya pada Bunga. Tapi ternyata tidak ada yang mengangkat teleponnya. Aku berpikir mungkin Bunga sedang liburan ke luar kota. Aku jadi teringat perkataan Bunga bahwa akau harus bisa memikirkan sendiri karena Bunga tidak selalu bisa bersamaku. Kemudian aku coba berpikir, kira-kira apa yang akan disarankan Bunga jika aku bertanya tentang latihanku ini. Aku jadi teringat saran Bunga untuk tantangan 10 menit dulu, bahwa dalam mencoba tidak masalah jika tidak berhasil, karena akan meningkatkan penguasaan jurus, sehingga di lain waktu mungkin akan berhasil. Kata-kata tersebut kembali memberiku semangat untuk terus mencoba.

“Liburan ini kamu tidak jalan-jalan dengan temanmu?”, tanya ibu suatu hari. “Kulihat kamu hanya di rumah saja berlatih silat”, lanjut ibu.

“Tidak Bu”, jawabku singkat.

“Kenapa? Bunga kemana?”, tanya ibu yang langsung menanyakan Bunga seakan tahu bahwa teman dekatku hanya Bunga.

“Tidak tahu Bu. Aku meneleponnya tapi tidak ada yang mengangkat. Mungkin berlibur keluar kota”, jawabku.

“Bagaimana kalau kita juga pergi liburan?”, tanya ibu. “Ibu akan bilang ke ayah”, lanjut ibu menjanjikan.

“Iya Bu”, jawabku pendek dan datar. Dulu aku selalu bersemangat (excited) ketika diajak liburan oleh ayah dan ibu. Namun sekarang entah mengapa semangatku (excitement) berlibur tidak seperti dulu lagi. Mungkin karena aku masih kepikiran tantangan ketiga.

Akhirnya kami sekeluarga pergi berlibur ke pantai. Ayah mengajakku berenang di pantai dan melakukan latihan-latihan seperti biasanya ketika kami berenang bersama di kolam renang, seperti latihan pernafasan, latihan gerakan jurus dalam air, dan sebagainya. Selain itu ayah juga mengajakku melakukan latihan-latihan lain yang bisa dilakukan di pantai. Misalnya latihan menguatkan kuda-kuda dengan berdiri menghadapi ombak yang datang, latihan berlari di pasir, latihan gerakan jurus, dan sebagainya. Ayah selalu mengajariku bahwa dimanapun kita berada tetap bisa melakukan sesuatu untuk berlatih silat.

Aku jadi teringat Bunga. Biasanya dia punya ide melakukan hal-hal seru (mengasyikkan) di tempat yang kelihatannya biasa saja. Dan kadang hal seru yang kami lakukan juga bisa melatih kemampuan silat kami. Aku jadi kepikiran seandainya Bunga ada disini, kira-kira dia akan mengajakku melakukan hal seru apa ya? Aku jadi membayangkan alangkah asyiknya jika aku dan Bunga bisa berlibur bersama di pantai.

“Kenapa kok melamun?”, tanya ibu menyadarkanku. “Kamu kepikiran Bunga?”, tanya ibu seakan bisa mengetahui isi hatiku.

“Iya Bu”, jawabku. “Ketika bermain bersama, Bunga biasanya mengajakku melakukan hal-hal seru, jadi aku kepikiran kira-kira Bunga akan mengajakku melakukan apa di pantai ini jika dia ikut”, lanjutku menceritakan secara jujur.

“Bukankah ayah juga mengajakmu melakukan hal-hal yang seru?”, tanya ibu. “Aku masih ingat bagaimana kamu bersemangat ketika ayah mengajarimu hal-hal yang bisa dilakukan untuk berlatih di tempat-tempat bermain seperti ini”, lanjut ibu. “Jangan-jangan kamu hanya kangen Bunga”, lanjut ibu sambil tersenyum menggodaku.

Aku diam saja tidak menanggapi pertanyaan ibu. Aku kepikiran jangan-jangan perkataan ibu benar. Aku coba membayangkan ayah sebagai Bunga dan mengajakku melakukan hal-hal yang kulakukan dengan ayah tadi. Sepertinya ada yang kurang pas.

“Beda Bu”, jawabku setelah merenung. “Bunga mengajakku melakukan hal seru untuk bersenang-senang, bukan untuk berlatih. Walaupun kadang hal seru yang kami lakukan sekalian untuk berlatih”, lanjutku. “Kalau ayah kan mengajakku berlatih”, lanjutku membela diri seakan tidak terima dibilang kangen oleh ibu. Ibu hanya tersenyum mendengar jawabanku.

Sepulang dari berlibur aku kembali berlatih untuk bisa mengalahkan tantangan ketiga. Ketika aku suntuk (bosan) karena belum bisa mengenai ayah dalam tantangan ketiga, aku coba menelepon Bunga lagi. Namun kembali tidak ada yang mengangkat teleponnya. Aku jadi ragu apakah nomor telepon yang kutahu salah? Aku jadi teringat liburan semester lalu, Bunga meneleponku mengajak bermain di taman kota agar aku tidak bosan karena berlatih terus. Akhirnya aku putuskan bermain ke taman kota untuk menghilangkan suntukku.

Seperti liburan semester lalu, taman kota ramai orang-orang yang bermain mengisi kegiatan liburan. Banyak komunitas-komunitas yang berlatih bersama di taman kota. Aku melihat-lihat latihan mereka tapi entah kenapa semangatku (excitement) tidak seperti liburan semester lalu. Apakah karena liburan semester lalu adalah pertama kali melihat mereka jadi masih terasa takjub (excited)? Atau karena liburan semester lalu aku melihatnya bersama Bunga?

Tiba-tiba aku melihat Bunga diantara banyak orang yang ada di taman kota. Aku panggil-panggil namun dia tidak menoleh, sehingga akhirnya kukejar dan kudekati. Setelah kudekati ternyata orang tersebut bukan Bunga. Apakah karena aku terbayang-bayang Bunga terus sehingga cewek tersebut kukira Bunga hanya karena perawakannya yang mirip Bunga?

Karena tidak bersemangat bermain di taman kota, aku lalu menuju ke taman pinggir sungai. Disana sudah ada anggota komunitas yang sedang bermain. Aku langsung ikut bergabung bermain permainan melewati rintangan. Namun aku merasa tidak seasyik ketika aku bermain bersama Bunga. Aku jadi teringat bagaimana asyiknya ketika bermain melewati rintangan bersama Bunga. Bagaimana kami saling berkejar-kejaran atau adu kecepatan, bagaimana kami saling memamerkan cara melalui sebuah rintangan dan saling menirunya, dan sebagainya. Hal-hal tersebut juga coba kulakukan bersama anggota komunitas yang sedang bermain di situ namun aku merasa tidak seasyik ketika aku melakukan bersama Bunga. Sehingga tidak sampai lama akhirnya aku pamit pada mereka untuk pulang duluan.

Dalam perjalanan pulang, angkutan umum yang kunaiki melewati rumah Bunga. Aku sudah tahu alamat rumah Bunga. Walaupun belum pernah ke rumah Bunga, namun aku pernah ditunjukkan rumahnya ketika angkutan umum yang kami naiki melewati rumahnya. Waktu itu Bunga menujukkan rumahnya dan turun di dekat rumahnya. Aku tidak ikut turun dari angkutan umum dan hanya melihat Bunga memasuki halaman rumahnya dari dalam angkutan umum. Kali ini aku turun dari angkutan umum dan berjalan menuju rumah Bunga. Aku merasa grogi (nervous) namun kuberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah Bunga. Sudah beberapa kali aku mengetuk pintu dan memanggil nama Bunga namun tidak ada jawaban. Berarti memang tidak ada orang di rumah Bunga. Akhirnya aku pulang dengan rasa kecewa.

 

(bersambung ke #60)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar