Selasa, 04 Januari 2022

#57 Mewarisi tanggung jawab pemimpin geng SMA

 

(sebelumnya #56)

 

Di rumah aku menceritakan pada ayah dan ibu, perkelahianku dengan geng yang menyerang SMA-ku tersebut. Sepertinya ayah dan ibu tidak kaget dengan keputusanku tersebut. Mereka sepertinya sudah menduga bahwa aku akan mengambil keputusan untuk melawan geng tersebut setelah mendapatkan penjelasan tentang tanggung jawab dan konsekuensi sebagai pesilat. Namun mereka tidak menyangka bahwa aku akan melawan geng tersebut sendirian.

“Kamu melawan mereka sendirian? Kamu tidak apa-apa? Mana yang sakit atau terluka?”, tanya ibu tampak cemas dan mendekatiku, mencoba mengecek keadaanku.

“Aku tidak apa-apa Bu”, jawabku yang membuat ibu tampak lega. “Aku juga tidak menyangka bahwa aku akan melawan mereka sendirian”, lanjutku. Aku kemudian menceritakan kenapa aku melawan mereka sendirian. Aku juga menceritakan detil perkelahianku termasuk jurus dan cara yang kupakai untuk melawan geng yang menyerang SMA-ku tersebut.

“Kemampuan silatmu sudah meningkat ya”, komentar ayah memujiku. “Tahun lalu menghadapi satu orang saja kamu kalah, sekarang kamu sanggup menghadapi banyak orang sekaligus”, lanjut ayah. “Tapi hati-hati, kamu harus selalu ingat akan tanggung jawab dan konsekuensi sebagai pesilat”, kata ayah memperingatkanku. “Lawan yang terkena jurus berbahayamu apakah ada yang sampai terluka parah?”, tanya ayah.

“Seingatku tidak ada Yah”, jawabku. “Buktinya mereka masih bisa pergi dengan berlari”, lanjutku.

“Setelah ini kamu akan dikenal orang sebagai orang yang bisa silat, sehingga kamu harus lebih hati-hati dan bersiap menghadapi konsekuensinya”, lanjut ayah memperingatkanku.

“Iya Yah”, jawabku singkat sambil mengangguk.

Hari berikutnya sepulang sekolah seperti biasa aku menemui Bunga di halaman sekolah untuk bermain bersama di seputar kota. Tapi ternyata Bunga mengajakku ke atas gedung. Kukira Bunga mau melabrak (memarahi) geng Agus karena menjebakku melawan geng yang menyerang SMA kami kemarin. Namun ternyata ketika sampai di atas gedung dan bertemu dengan geng Agus, Bunga hanya diam saja. Aku juga diam saja. Melihat kami datang, geng Agus yang sebelumnya tampak sedang mengobrol tiba-tiba diam. Mereka memandangi kami berdua. Aku dan Bunga juga memandangi mereka tanpa berkata apa-apa. Kemudian Agus dan teman-temannya turun tanpa berkata apa-apa seakan mengalah dan mempersilahkan kami memakai atas gedung.

“Kukira kita mau melabrak mereka. Kok kita malah diam saja?”, tanyaku ke Bunga.

“Untuk apa? Percuma memarahi mereka. Lagipula mereka sudah tidak berani denganmu, kan? Makanya mereka langsung pergi ketika kita datang”, jawab Bunga. “Selamat ya, berarti kamu sudah diakui sebagai pemimpin geng SMA kita”, lanjut Bunga menggodaku sambil tersenyum.

Akhirnya aku paham bahwa yang memakai atas gedung biasanya adalah pemimpin geng SMA kami dengan teman-temannya. Hal ini terjadi dengan sendirinya dan seakan menjadi aturan tidak tertulis. Ketika tidak ada pemimpin geng SMA, kadang terjadi perkelahian antar geng hanya gara-gara memperebutkan atas gedung. Seperti yang terjadi antara geng Agus dan geng lain yang berkelahi di atas gedung yang kusaksikan waktu itu. Namun ketika ada pemimpin geng SMA, maka geng-geng di SMA-ku tidak berani ke atas gedung karena dipakai oleh pemimpin geng SMA dan teman-temannya. Waktu aku dan Bunga pertama kali ke atas gedung adalah semester genap dimana pemimpin geng SMA dan teman-temannya sudah kelas tiga sehingga sudah jarang bermain karena fokus belajar, walaupun kadang masih ada yang naik ke atas gedung. Seperti ketika aku memergoki kelas tiga yang merokok dan seperti ketika aku menemui pemimpin geng SMA di atas gedung. Waktu aku naik kelas dua dan pemimpin geng SMA sudah lulus SMA, atas gedung kembali diperebutkan antar geng di SMA kami. Seperti ketika aku melihat geng Agus berkelahi dengan geng lain memperebutkan atas gedung. Sehingga atas gedung jadi dikuasai geng Agus. Sekarang setelah aku berhasil mengusir geng lain yang akan menyerang SMA kami, geng Agus mempersilakan aku memakai atas gedung. Mereka langsung turun ketika melihat aku dan Bunga naik ke atas gedung. Secara tidak langsung aku diakui sebagai pemimpin geng SMA. Aku jadi teringat kata-kata pemimpin geng SMA bahwa jabatan pimpinan geng SMA bukan dengan cara diwariskan atau ditunjuk tapi dengan cara diraih.

“Sebenarnya aku tidak ingin terlibat geng”, jawabku atas pernyataan Bunga tersebut. “Menurutmu apa yang harus kulakukan?”, tanyaku meminta pendapat Bunga.

“Seperti biasanya dirimu saja, tidak perlu berubah”, jawab Bunga. “Kamu hanya perlu mengikuti nasehat ayahmu tentang tanggung jawab dan konsekuensi pesilat”, lanjut Bunga.

“Iya, betul”, kataku menyadari bahwa jawaban Bunga memang tepat. “Namun jika aku bingung, aku tanya kamu ya?”, pintaku ke Bunga.

“Kamu harus bisa memikirkan dan memutuskan sendiri”, jawab Bunga. “Karena aku tidak selalu bisa bersamamu”, lanjut Bunga terlihat sedih. Kemudian Bunga melihat ke arah jauh seperti melamun.

“Apa maksudmu?”, tanyaku penasaran.

“Gak apa apa”, jawab Bunga seperti tersadar dari lamunannya. “Ayo kita pulang”, ajak Bunga tiba-tiba.

 

(bersambung ke #58)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar