Hari berikutnya sepulang sekolah aku dan Bunga tidak bermain ke kota. Kami hanya duduk-duduk di bangku taman di halaman sekolah, karena berjaga-jaga jika SMA kami jadi diserang. Aku menceritakan pada Bunga hasil bertanyaku kepada ayah. Aku menceritakan penjelasan ayah tentang tanggung jawab dan konsekuensi sebagai pesilat.
“Pantas saja kamu terbiasa belajar secara teoritis, ternyata ayahmu jika menjelaskan juga secara teoritis”, kata Bunga mengomentari penjelasanku. “Kalau aku tidak diajari oleh ayahku secara detil begitu. Sejak kecil aku diajari untuk saling membantu. Aku juga sering melihat ayah suka membantu orang lain. Sejak kecil aku sudah diajari silat. Aku juga diajari untuk berani melawan orang yang menjahiliku (mem-bully). Sehingga sejak kecil aku sering menimbulkan masalah karena sering menghajar lawanku baik karena membela diri maupun membela orang lain yang dijahili”, kata Bunga menceritakan tentang dirinya. “Ayah sering dipanggil pihak sekolah karena aku. Akhirnya ayah sering memarahiku (menasehatiku) bahwa silat bukan untuk menghajar orang lain. Silat adalah untuk membela diri dan membela orang lain, jadi tidak boleh berlebihan dalam menghajar lawan”, lanjut Bunga menceritakan. “Karena sering berkelahi tersebut, akhirnya ayah juga melarangku belajar jurus yang berbahaya dan bersifat menyerang. Ayah hanya mengajariku jurus yang lebih menekankan pada kemampuan menghindar dan keseimbangan tubuh”, lanjut Bunga.
Aku jadi paham kenapa Bunga seakan tidak mau belajar jurus baru. Aku juga jadi paham kenapa Bunga dengan mudahnya menolak tantangan duel dari musuhnya.
“Kalau menurut penjelasan ayahmu tersebut, sepertinya ayahku tidak membolehkanku menjadi pesilat. Ayahku hanya mengajariku silat untuk membela diri”, lanjut Bunga menjelaskan. “Walaupun ayah sudah menjelaskan tentang duel dan dunia persilatan, namun ayah selalu menegaskan agar aku menolak jika ada yang menantangku adu jurus maupun duel”, lanjut Bunga. “Ayah tidak menjelaskan secara khusus tentang konsekuensi menjadi pesilat. Namun ketika memarahiku (menasehatiku) karena dipanggil pihak sekolah, ayah selalu menegaskan bahwa kekerasan tidak dapat diterima di masyarakat dan dapat berakibat berurusan dengan hukum”, lanjut Bunga.
“Terus bagaimana sikap kita tentang kemungkinan SMA kita diserang? Kenapa kemarin kamu jadi gak mood memikirkan hal tersebut?”, tanyaku ke Bunga.
“Aku gak mood karena bingung bagaimana menjelaskan padamu”, jawab Bunga. “Aku tahu bahwa kamu sudah belajar silat sejak kecil. Namun dari sikapmu yang tidak ingin ketahuan bisa silat, juga ketika tidak mau menggantikan pemimpin geng, juga ketika tidak menolong teman-teman yang dihajar geng Agus di atas gedung, aku jadi penasaran untuk apakah ayahmu mengajarimu silat?”, lanjut Bunga. “Orang yang belajar silat biasanya selalu diajari bahwa silat adalah untuk membela diri dan orang lain, dan biasanya mereka tidak menyembunyikan kalau memang belajar silat”, lanjut Bunga. “Jadi ketika kamu bertanya apakah jawabanmu ke Agus sudah tepat, aku bingung mau jawab apa”, lanjut Bunga. “Jika aku jawab sudah tepat, aku khawatir kamu dilarang oleh ayahmu, karena mau gak mau kamu akan ketahuan oleh banyak orang bahwa kamu bisa silat. Walaupun sebenarnya menurutku jawabanmu kurang tepat”, lanjut Bunga menjelaskan.
“Sekarang setelah tahu penjelasan dari ayahku, menurutmu yang lebih tepat bagaimana?”, tanyaku memotong penjelasan Bunga. Aku jadi paham kenapa Bunga menyuruhku bertanya ke ayahku. Aku juga jadi teringat perkataan pemimpin geng SMA kami yang heran atas jawabanku dan bertanya padaku bukankah tujuan belajar silat untuk membela diri dan membela orang lain. Aku jadi paham bahwa selama ini sikapku agak berbeda dengan orang-orang lain yang juga belajar silat.
“Kamu ingat hari sebelumnya kita melihat geng Agus berhadapan dengan geng lain, kemudian hari berikutnya Agus dan teman-temannya terlihat luka-luka?”, tanya Bunga. Aku hanya mengangguk mengiyakan. “Aku yakin geng Agus sudah dihajar oleh geng lawannya tersebut. Jadi menurutku geng tersebut menyerang SMA kita bukan untuk menyerang geng Agus lagi. Pasti ada tujuan lain. Selain itu, untuk apa mereka memberitahu geng Agus bahwa akan menyerang SMA kita? Pasti ada maksudnya”, lanjut Bunga.
“Jadi kamu percaya cerita Agus?”, tanyaku.
“Menurutku cerita Agus ada benarnya”, jawab Bunga. “Tapi aku tidak percaya sepenuhnya, karena sepertinya masih ada yang belum diceritakan oleh Agus”, lanjut Bunga.
“Lalu, apa hubungannya dengan sikap kita?”, tanyaku lagi.
“Karena permasalahannya belum jelas, jadi kita harus hati-hati jangan sampai kita membela hal yang salah atau terlibat permasalahan yang seharusnya tidak perlu terlibat. Jadi menurutku jawabanmu kemarin kurang tepat”, jawab Bunga. Aku jadi teringat penjelasan ayah kemarin.
“Berarti apa yang harus kita lakukan? bertanya lebih lanjut ke Agus? atau hanya menunggu dan mengamati dulu (wait and see)?”, tanyaku.
“Aku tidak yakin Agus mau cerita lebih lanjut. Jika ingin cerita tentu sudah dia lakukan”, jawab Bunga. “Tapi kita juga tidak mungkin hanya menunggu dan mengamati (wait and see), dan membiarkan murid-murid SMA kita dihajar geng lain lebih dulu”, lanjut Bunga. “Menurutku sebaiknya kita ikut bersama geng Agus menghadapi mereka dan mencaritahu apa sebenarnya maksud mereka, sambil berupaya agar permasalahan bisa diselesaikan tanpa tawuran”, lanjut Bunga menegaskan.
“Baik, aku setuju”, kataku menyetujui pendapat Bunga. “Apakah kita perlu bilang ke Agus dan teman-teman tentang keputusan kita ini untuk meralat jawabanku kemarin?”, tanyaku.
“Tidak perlu”, jawab Bunga. “Biar saja mereka mengira seperti itu agar tidak bergantung pada kita”, lanjut Bunga.
Hari berikutnya sepulang sekolah, ketika aku dan Bunga sedang duduk-duduk di bangku taman di halaman sekolah, tiba-tiba beberapa murid yang mau pulang keluar dari halaman sekolah, kembali masuk ke halaman sekolah. Katanya di depan sekolah ada segerombolan orang. Mungkin geng yang dimaksud Agus sudah datang. Aku dan Bunga bermaksud memanggil Agus dan teman-temannya. Tiba-tiba ada murid yang bilang bahwa yang dicari mereka adalah Arya. Aku dan Bunga kaget. Kami berpandangan seakan saling bertanya apa yang harus dilakukan.
“Kau cari Agus, biar aku hadapi dulu sendirian”, kataku pada Bunga. Dia masih memandangiku seakan khawatir. “Tidak apa-apa”, kataku. Akhirnya Bunga pergi mencari Agus. Akupun pergi menuju keluar halaman sekolah.
Di depan gerbang sekolah terlihat banyak orang berdiri seakan menungguku. Beberapa orang aku masih ingat wajahnya adalah orang yang mengeroyokku dan Bunga di depan sekolah waktu itu.
“Itu dia orangnya”, kata salah satu orang kepada seseorang disampingnya sambil menunjuk aku. Orang yang dikasih tahu sepertinya adalah pemimpinnya. Kemudian orang tersebut maju beberapa langkah ke depan.
“Kamu Arya yang diceritakan Agus sebagai pemimpin geng SMA 1 ini?”, tanyanya kepadaku. “Sombong sekali menghadapi kami sendirian”, lanjutnya sambil menggerakkan tangan seakan memberi aba-aba untuk menyerangku.
“Tunggu dulu”, teriakku dengat cepat untuk mencegah mereka menyerangku. Mereka pun terdiam tidak jadi bergerak. Sepertinya ada salah paham gara-gara cerita Agus ke mereka tentang aku. Aku harus bisa mencari tahu duduk perkaranya (permasalahannya) sambil mengulur waktu.
“Iya, aku Arya, tapi aku bukan pemimpin geng SMA 1”, jawabku. “Jangan-jangan kalian salah orang”, lanjutku.
“Tidak mungkin salah orang”, jawabnya. “Kamu yang mengalahkan beberapa orang anak buahku dulu itu kan?”, tanyanya kelihatan kesal.
“Iya, tapi aku bukan pemimpin geng SMA 1”, sahutku cepat agar masih terjadi perbincangan sehingga menunda mereka untuk menyerang. “Jangan-jangan Agus berbohong karena terpaksa, misalnya untuk menyelamatkan diri karena kalian hajar”, lanjutku. Pemimipin geng tersebut hanya diam. Mungkin memikirkan perkataanku. “Jika memang geng Agus bersalah pada kalian, silakan selesaikan sendiri dengan mereka tanpa harus melibatkan SMA kami”, kataku melanjutkan sambil masih mengulur waktu.
“Tapi yang terkuat di SMA 1, kamu kan?”, tanyanya seperti menyadari sesuatu.
“Tidak tahu, kami belum pernah bertanding untuk mengetahui siapa yang terkuat”, jawabku dengan cepat sehingga agak asal-asalan.
“Tidak peduli siapa pemimpinnya, karena kamu yang menghadapi kami, jadi kami anggap kamu pemimpinnya”, kata pemimpin geng tersebut kesal. “Lagipula kamu dulu yang mengalahkan anak buahku”, lanjutnya.
“Aku dulu kan hanya membela diri”, jawabku masih berusaha mengajaknya ngobrol. “Lagipula tidak ada lagi geng SMA 1. Geng SMA 1 yang dulu sudah pada lulus SMA bersama kakak pemimpin geng. Yang ada sekarang hanya geng Agus”, kataku mencoba menjelaskan.
“Masa bodoh”, umpatnya yang tidak mau menerima penjelasanku. “Kata Agus kamu lebih hebat darinya, jadi kami mau mengalahkanmu”, lanjutnya kesal.
“Baiklah jika kamu tidak terima, aku akan melawanmu, satu lawan satu”, sahutku cepat agar aku tidak dikeroyok, karena sepertinya dia sudah tidak bisa diajak bicara lagi.
“Ngapain (satu lawan satu)”, jawabnya. “Salah sendiri menghadapi kami sendirian”, lanjutnya. “Serang!”, serunya sambil memberi aba-aba dengan tangannya kepada beberapa orang di belakangnya.
Lima orang maju menyerangku bersamaan. Aku meloncat ke kanan sehingga menjadi di sebelah kiri orang yang paling kanan. Lima orang tersebut jadi seakan berderet ke belakang dari arahku sehingga aku bisa menghadapi satu per satu dari yang paling kiri. Sepertinya mereka bisa silat, sehingga aku langsung memakai jurus yang sulit dan agak berbahaya agar dapat mengalahkan mereka dengan cepat. Dengan dua atau tiga gerakan aku bisa mengenai mereka satu per satu. Belum selesai melawan lima orang tersebut, karena melihat temannya dengan mudah kukalahkan, maka mereka semua mengepungku dari segala arah.
Akhirnya kugunakan cara melawan banyak orang yaitu dengan menyerang orang terdekat sambil berusaha menghindari serangan yang lain. Jika aku pakai jurus yang lebih berbahaya (lebih kejam), bisa saja dengan sekali kena mereka tidak akan melawan lagi. Tapi aku ingat tanggung jawab dan konsekuensi sebagai pesilat, sehingga dari yang sudah kukenai masih ada beberapa orang yang bisa menyerang lagi. Aku menjadi kewalahan, sehingga jadi lebih banyak bertahan daripada menyerang.
Akhirnya aku putuskan untuk menerima serangan yang kira-kira tidak berbahaya dan tidak terlalu sakit bagiku. Setelah kuputuskan begitu, aku bisa lebih fokus dalam menyerang dan tidak berusaha terlalu bertahan. Aku fokuskan mengalahkan yang bisa silat atau yang lebih kuat (lebih hebat) karena serangan mereka yang lebih berbahaya. Beberapa orang yang mengepungku tampak tidak bergerak menyerangku. Mungkin karena mereka mengepungku terlalu rapat sehingga menjadi lebih sulit untuk bergerak menyerangku. Atau mungkin karena mereka takut terkena seranganku setelah melihat teman-temannya yang terkena seranganku tampak kesakitan. Selain fokus menyerang ke orang yang menyerangku, yang bisa silat, dan yang lebih kuat (lebih hebat), aku juga fokus menyerang ke arah depan menuju ke pemimpin gengnya. Setelah berhasil menjatuhkan beberapa orang, akhirnya aku sampai berhadapan dengan pemimpin gengnya.
“Jangan hanya bisa menyuruh orang lain, ayo hadapi aku”, kataku kepadanya sambil menyerangnya.
Menurutku ilmu silat pemimpin geng tersebut tidak lebih hebat daripada kakak pemimpin geng SMA-ku. Namun karena selain melawannya aku juga masih harus melawan dan diserang orang yang lain, sehingga walaupun sudah beberapa saat aku belum juga bisa mengenai pemimpin geng tersebut. Aku sudah mulai kecapekan. Akhirnya aku putuskan memakai jurus yang lebih sulit lagi. Akhirnya aku bisa mengenai pemimpin geng tersebut hingga dia terjatuh.
Terdengar sorakan dari murid-murid SMA-ku yang mendukungku dan meneriaki lawanku. Ternyata sudah banyak murid-murid SMA-ku yang berkumpul di depan sekolah menonton perkelahianku. Melihat pemimpin gengnya jatuh dan melihat beberapa orang yang bisa silat sudah tidak bisa melawan lagi, serta melihat murid-murid SMA-ku yang bersorak-sorak meneriaki, maka orang-orang yang awalnya hanya mengepungku, lari meninggalkan tempat itu. Pemimpin geng dan beberapa orang yang telah jatuh juga bangun dan pergi meninggalkan aku. Beberapa orang yang sebenarnya masih bisa melawanku akhirnya juga ikut pergi. Murid-murid SMA-ku masih terus meneriaki namun tidak mengejar mereka.
Aku merasa lega dan duduk di atas tanah. Bunga segera mendekatiku. Murid-murid SMA-ku pada memujiku dan menyelamatiku, ada yang dari jauh, ada yang mendekat. Aku hanya membalas mereka dengan senyuman dan isyarat tangan.
“Kamu gak apa-apa?”, tanya Bunga sambil mengulurkan tangannya mau memapahku.
“Gak apa-apa”, jawabku sambil memberi isyarat dengan tanganku menolak untuk dipapah. “Aku hanya kecapekan”, jawabku sambil kembali berdiri. “Hampir tiap hari aku terkena serangan dari ayah jadi sudah terbiasa kalau cuma segini”, lanjutku.
“Aku sempat khawatir karena ketika aku datang kamu sudah dikepung rapat sampai tidak begitu kelihatan dari sana tadi”, kata Bunga. “Aku melihatmu bertarung seperti mengamuk menyerang ke segala arah. Aku jadi tidak berani ikut menyerang untuk membantumu karena takut mengganggu konsentrasimu”, lanjut Bunga seakan merasa bersalah karena tidak membantuku.
“Gak masalah”, jawabku. “Lagipula berkat teriakan teman-teman yang kamu kumpulkan, akhirnya mereka lari ketakutan”, lanjutku. “Tapi sepertinya mereka bukan murid-murid yang ikut geng ya?”, tanyaku heran.
“Aku bersama teman-teman yang tadi tidak jadi pulang, memberitahu semua murid yang masih ada di sekolah untuk berkumpul di depan sekolah. Kebanyakan murid sudah pulang, sehingga yang ada hanyalah yang masih ikut klub”, jawab Bunga.
“Bagaimana kamu meyakinkan mereka agar mau berkumpul di depan sekolah?”, tanyaku.
“Aku tidak mengajak mereka untuk ikut berkelahi. Aku hanya mengajak mereka untuk berjaga-jaga di halaman sekolah dan memberi dukungan padamu yang sudah menghadang geng musuh di depan sekolah”, jawab Bunga. “Untuk yang sudah kenal aku atau kamu langsung mau ikut. Bahkan ada yang langsung semangat ingin ikut berkelahi”, lanjut Bunga. “Yang lain, ada yang ikut karena teman seklubnya ikut dan ada yang ikut karena penasaran dan ingin menonton. Ketika sudah banyak yang ikut, yang lain jadi ikut”, lanjut Bunga.
“Bagaimana dengan geng Agus?”, tanyaku.
“Masa bodoh dengan mereka”, jawab Bunga kesal. “Mereka tahu akan diserang, jadi harusnya mereka bisa lihat dari atas gedung. Lagipula, begitu yang dicari adalah namamu aku langsung curiga jangan-jangan mereka menjual namamu (mengadukan namamu untuk kepentingan pribadi)”, lanjut Bunga. “Terbukti sekarang mereka tidak kelihatan sama sekali”, lanjut Bunga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar