Suatu hari ketika jam istirahat, aku ke kantin untuk membeli minuman. Di
kantin aku melihat Agus dan Mawar sedang makan berdua semeja. Aku pun mendekati
mereka mau menanyakan tentang Bunga.
“Jangan ganggu kami”, kata Mawar kepadaku ketika aku mendekati mereka.
“Aku hanya mau tanya ke Agus tentang Bunga”, jawabku ke Mawar. “Kenapa
kamu takut dengan Bunga?”, tanyaku ke Agus.
“Aku gak takut, aku hanya malas berurusan dengan dia”, jawab Agus.
“Memangnya kenapa?”, tanyaku lagi.
“Kamu sungguh ingin tahu? Jangan menyesal ya. Kamu sendiri yang memintaku
menceritakannya”, jawab Agus memperingatkanku.
“Ceritakan saja”, kataku ke Agus.
“Dulu waktu kelas 1, Bunga suka dan dekat dengan seorang murid cowok,
seperti denganmu saat ini. Tapi kemudian Bunga memergoki (menemukan) cowok
tersebut sedang berduaan dengan seorang murid cewek. Karena cemburu, Bunga lalu
menghajar murid cowok tersebut. Akhirnya orang tua mereka dipanggil ke sekolah.
Ternyata ayahnya Bunga adalah seorang polisi sehingga Bunga tidak jadi dihukum.
Justru murid cowok dan murid cewek tersebut yang pindah dari sekolah kita ke
sekolah lain”, kata Agus.
“Makanya Agus tidak mau melawanmu karena kamu dilindungi Bunga”, kata
Mawar ikut-ikutan bicara.
“Aku tidak percaya”, kataku ke Agus karena merasa ada yang kurang lengkap
dari cerita Agus. Apalagi perkataan Mawar bahwa Agus tidak mau melawanku
membuatku curiga jangan-jangan Agus berbohong pada Mawar tentang hasil duelku
dulu. Tapi aku sedang tidak ingin mambahas itu, jadi aku diam saja.
“Tanya saja ke murid kelas 3 yang lain”, kata Agus sambil tersenyum sinis.
Aku pun pergi meninggalkan mereka. Aku teringat ada kakak kelas di klub
sepak bola yang kenal dengan Bunga. Di kelas aku bertanya ke Aris apakah nanti
ada latihan klub sepak bola.
“Nanti ada latihan?”, tanyaku ke Aris.
“Ada. Kamu mau ikut? Nanti akan ada anggota baru hasil dari kita
menyebarkan pamflet kemarin”, jawab Aris. “Atau kamu mau jadi anggota tetap klub
sepak bola?”, tanya Aris seperti berharap.
“Bukan, aku hanya ingin bertanya ke kakak kelas”, jawabku.
Sepulang sekolah aku ikut Aris menunggu anggota klub sepak bola berkumpul.
Setelah berkumpul kami jalan bersama menuju ke lapangan sepak bola. Ada
beberapa murid kelas 1 yang baru ikut bergabung. Aku mendekati kakak kelas yang
dulu sepertinya kenal Bunga.
“Kak, kenal Bunga kan? Tahu kasus Bunga ketika masih kelas 1? Cerita
sesungguhnya bagaimana sih kak?”, tanyaku agak pelan agar tidak terdengar yang
lain.
“Aku juga tidak tahu secara pasti. Kejadiannya sepulang sekolah dan tidak
ada yang lihat. Hari berikutnya terlihat wajah murid cowok yang lebam seperti
habis dipukuli, dipanggil ke ruang kepala sekolah dengan Bunga. Sedangkan murid
cewek yang satunya tidak masuk sekolah. Orang tua mereka juga datang. Ayahnya
Bunga datang dengan memakai seragam polisi. Setelah itu murid cowok dan murid
cewek tersebut tidak pernah masuk sekolah dan katanya sudah pindah sekolah”,
kata kakak kelas tersebut. “Kemudian beredar isu bahwa Bunga menghajar kakak
kelas tersebut karena cemburu, namun karena ayahnya seorang polisi, Bunga dinyatakan
tidak bersalah. Sedangkan kedua murid lain dinyatakan bersalah sehingga
dikeluarkan dari sekolah”, lanjut kakak kelas tersebut. “Karena isu tersebut
murid-murid lain takut bermasalah dengan Bunga, terutama murid-murid cowok,
takut berteman dengan Bunga”, lanjut dia.
“Tapi kamu sepertinya tidak takut dengan Bunga? Kamu mengijinkan kami ikut
kegiatan klub sepak bola”, tanyaku padanya.
“Aku tidak percaya isu tersebut. Setahuku Bunga orang yang baik. Tidak
mungkin Bunga menghajar murid cowok tersebut hanya karena cemburu. Jadi jika
aku tidak bersalah dengan dia kenapa harus takut”, jawab dia. “Lagipula Bunga
sekarang terlihat kembali ceria seperti dulu sebelum kasus tersebut”, lanjut
dia. “Mungkin itu karena kamu, jadi jangan sampai kamu membuat dia murung
(tidak ceria) lagi”, lanjut dia menasehati.
Aku hanya diam. Aku tidak berani berjanji. Aku mencoba mengingat-ingat
apakah para anggota klub yang mengijinkan kami mencoba kegiatan klub mereka itu
karena takut dengan Bunga atau karena bersikap sebagai teman seperti kakak
kelas ini. Dan sepertinya ada yang karena takut dan ada yang bersikap sebagai
teman.
“Jika kamu belum yakin, kenapa tidak bertanya langsung ke Bunga?”, saran
kakak kelas tersebut setelah melihatku terdiam. “Jika yang bertanya kamu,
mungkin dia mau menjawab”, lanjut dia.
“Aku tidak yakin. Aku sudah beberapa kali mencoba bertanya tentang dia,
namun dia selalu menghindar”, jawabku. “Terima kasih ceritanya ya”, kataku
sambil pergi meninggalkan mereka untuk pulang.
“Gak jadi ikut latihan?”, tanya Aris yang cuma kujawab dengan senyum dan
lambaian tangan.
Di rumah aku menceritakan ke ibu, cerita tentang Bunga yang kudengar dari
Agus maupun dari kakak kelas klub sepak bola. Aku meminta pendapat ibu tentang
bagaimana menanyakannya ke Bunga.
“Ceritakan saja ke Bunga bahwa kamu mendengar isu tersebut dan tanya ke
Bunga yang sebenarnya terjadi bagaimana”, kata ibu. “Tapi tanyanya cari waktu
yang tepat, disaat sedang berdua saja dalam keadaan santai tidak sedang
melakukan sesuatu dan jangan memaksa Bunga jika dia tidak mau menceritakan”,
lanjut ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar