Hari itu hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas. Seperti
dulu, pagi hari sudah ramai murid-murid yang berkerumun melihat pembagian
kelas. Terlihat wajah-wajah baru murid-murid kelas 1. Kami yang naik kelas 2
dan kelas 3 sudah diberitahu kelas baru kami sebelum liburan sehingga tidak
ikut berkerumun melihat pembagian kelas.
Setelah upacara aku menuju kelas baruku di kelas 2C. Aku tidak lagi
sekelas dengan Andi maupun Mawar. Ada beberapa teman sekelasku yang aku sudah
kenal karena sama-sama dari kelas 1C atau karena pernah kenal dari klub
olahraga. Aku duduk sebangku dengan Aris dari klub sepak bola.
“Bagaimana kabar Bunga, kalian masih pacaran?”, tanya Aris mengajakku
ngobrol.
“Kami tidak pacaran”, jawabku yang sepertinya tidak dianggap oleh Aris.
“Kamu jadi ikut klub sepak bola?”, tanya Aris.
“Gak”, jawabku singkat.
“Kami besok ada latihan, kalau mau ikut, besok bawalah baju olahraga”,
kata Aris seakan tidak mendengar jawabanku.
Aris sepertinya orang yang suka mengobrol dan banyak bicara. Walaupun aku
tidak menjawab atau menanggapinya, terutama ketika pelajaran berlangsung, dia
tetap saja bicara padaku. Hal-hal yang dia bicarakan kebanyakan tentang sepak
bola, tentang klub sepak bola favoritnya (kesukaannya), pemain sepak bola
idolanya (kesukaannya) dan sebagainya.
Seperti biasa, ketika istirahat aku hanya di kelas memikirkan
(menganalisis) jurus untuk tantangan 3 kali kena. Pulang sekolah aku naik ke
atas gedung berharap bertemu Bunga disana. Setelah kutunggu agak lama, Bunga
tidak datang akhirnya aku pulang. Halaman arah keluar sekolah dan jalan di luar
sekolah sudah sepi dari murid-murid karena sudah lewat dari jam pulang sekolah
dan belum waktunya jam pulang dari kegiatan klub. Ketika aku akan keluar
sekolah terlihat ada 1 murid yang sedang dihadang 3 murid lain. Dia kelihatan
takut. Ketika dia melihatku, pandangan kami bertemu. Dia menatapku. Melihat
tatapannya aku meghentikan langkahku.
“Hey, ada apa ini?”, tanyaku ke mereka.
“Tolong, mereka mau memalakku (meminta uang dengan paksa)”, kata murid tersebut.
“Gak usah ikut campur”, kata salah satu dari 3 murid yang menghadangnya,
sambil menengok ke arahku seakan mengancam. Aku tetap mendekati mereka. Murid
yang dipalak itu segera berlindung di belakangku.
“Jangan sok jadi jagoan”, kata salah seorang dari mereka sambil
mengarahkan pukulan ke arah wajahku. Aku dengan mudah menghindarinya.
“Aku tidak mau berkelahi. Sudahlah, biarkan kami pergi”, kataku.
Melihat pukulannya dapat dihindari, dia kembali menyerang. Dua Orang yang
lain juga menyerang bersamaan. Aku bisa menghindari salah satu serangan mereka
dan menangkis dua serangan yang lain. Karena serangannya gagal, mereka
kelihatan marah mereka kembali menyerang. Aku berpikir jika aku tidak menyerang
balik, sepertinya mereka tidak akan berhenti. Akhirnya aku tidak hanya
menghindari dan menangkis serangan mereka, tapi kulanjutkan dengan menyerang
mereka namun dengan serangan yang tidak berbahaya dan tidak terlalu
menyakitkan. Terkena seranganku tersebut ternyata tidak menyurutkan niat
mereka, malah membuat mereka semakin marah.
“Ternyata bisa berkelahi, pantas berlagak”, kata salah satu dari mereka.
“Tapi apakah bisa menghadapi kami bertiga?”, kata yang lain sambil
bergerak kesampingku, sedangkan yang lain bergerak ke arah belakangku. Ternyata
mereka berusaha mengepungku. Merasa sudah tidak diperhatikan, murid yang akan
dipalak tadi sudah lari dan pergi meninggalkan kami. Sepertinya aku harus
menyakiti mereka agar bisa menghentikan perkelahian ini. Maka akupun bersiap
dengan kuda-kudaku.
Mereka mulai menyerang secara bersamaan. Walaupun perbedaannya sangat
singkat, dengan kecepatan penglihatanku terlihat mana yang serangannya akan
sampai terlebih dulu, itu yang kutangkis lebih dulu, kemudian aku menghindari
serangan kedua sambil menyerang dan menghindari serangan ketiga, kulanjutkan
dengan serangan kedua dan ketiga. Seranganku ke arah ulu hati mereka semua,
sehingga mereka kesakitan dan jatuh terduduk.
“Masih mau diteruskan?”, tanyaku mengancam seakan mau menyerang lagi.
“Ti..ti..tidak”, kata mereka dengan terbata-bata karena kesulitan bicara
karena terkena serangan di ulu hati, sambil memegangi dada mereka yang sakit.
“Kalau kalian masih memalak murid-murid SMA ini lagi, akan kuhajar
kalian”, kataku mengancam.
“Ampun, kami tidak akan memalak lagi”, jawab salah satu dari mereka yang
sudah tidak terbata-bata bicaranya. Akupun pergi meninggalkan mereka.
Sepertinya benar apa kata pemimpin geng waktu itu. Setelah dia lulus
murid-murid nakal mulai bertingkah lagi. Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur
apalagi sampai berkelahi. Namun jika menemui kejadian seperti tadi, aku merasa
bersalah jika tidak menolongnya. Aku bingung apakah aku perlu menceritakan hal
ini ke ayah atau tidak. Akhirnya aku putuskan untuk tidak menceritakannya pada
ayah. Aku juga tidak memikirkannya lagi. Aku kembali fokus memikirkan tantangan
3 kali kena.
(penyadur: karena tidak ada nama
untuk pemimpin geng SMA 1 ini, jadi kata yang dipakai adalah pemimpin geng. Kita
harus bisa menangkap maksud kata pemimpin geng dalam kalimat berdasarkan
konteksnya, apakah berarti pemimpin geng SMA 1 atau yang dimaksud pemimpin geng
secara umum).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar