Selasa, 21 Mei 2019

#42 Hari pertama di kelas 2



Hari itu hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas. Seperti dulu, pagi hari sudah ramai murid-murid yang berkerumun melihat pembagian kelas. Terlihat wajah-wajah baru murid-murid kelas 1. Kami yang naik kelas 2 dan kelas 3 sudah diberitahu kelas baru kami sebelum liburan sehingga tidak ikut berkerumun melihat pembagian kelas.
Setelah upacara aku menuju kelas baruku di kelas 2C. Aku tidak lagi sekelas dengan Andi maupun Mawar. Ada beberapa teman sekelasku yang aku sudah kenal karena sama-sama dari kelas 1C atau karena pernah kenal dari klub olahraga. Aku duduk sebangku dengan Aris dari klub sepak bola.
“Bagaimana kabar Bunga, kalian masih pacaran?”, tanya Aris mengajakku ngobrol.

“Kami tidak pacaran”, jawabku yang sepertinya tidak dianggap oleh Aris.
“Kamu jadi ikut klub sepak bola?”, tanya Aris.
“Gak”, jawabku singkat.
“Kami besok ada latihan, kalau mau ikut, besok bawalah baju olahraga”, kata Aris seakan tidak mendengar jawabanku.
Aris sepertinya orang yang suka mengobrol dan banyak bicara. Walaupun aku tidak menjawab atau menanggapinya, terutama ketika pelajaran berlangsung, dia tetap saja bicara padaku. Hal-hal yang dia bicarakan kebanyakan tentang sepak bola, tentang klub sepak bola favoritnya (kesukaannya), pemain sepak bola idolanya (kesukaannya) dan sebagainya.
Seperti biasa, ketika istirahat aku hanya di kelas memikirkan (menganalisis) jurus untuk tantangan 3 kali kena. Pulang sekolah aku naik ke atas gedung berharap bertemu Bunga disana. Setelah kutunggu agak lama, Bunga tidak datang akhirnya aku pulang. Halaman arah keluar sekolah dan jalan di luar sekolah sudah sepi dari murid-murid karena sudah lewat dari jam pulang sekolah dan belum waktunya jam pulang dari kegiatan klub. Ketika aku akan keluar sekolah terlihat ada 1 murid yang sedang dihadang 3 murid lain. Dia kelihatan takut. Ketika dia melihatku, pandangan kami bertemu. Dia menatapku. Melihat tatapannya aku meghentikan langkahku.
“Hey, ada apa ini?”, tanyaku ke mereka.
“Tolong, mereka mau memalakku (meminta uang dengan paksa)”, kata murid tersebut.
“Gak usah ikut campur”, kata salah satu dari 3 murid yang menghadangnya, sambil menengok ke arahku seakan mengancam. Aku tetap mendekati mereka. Murid yang dipalak itu segera berlindung di belakangku.
“Jangan sok jadi jagoan”, kata salah seorang dari mereka sambil mengarahkan pukulan ke arah wajahku. Aku dengan mudah menghindarinya.
“Aku tidak mau berkelahi. Sudahlah, biarkan kami pergi”, kataku.
Melihat pukulannya dapat dihindari, dia kembali menyerang. Dua Orang yang lain juga menyerang bersamaan. Aku bisa menghindari salah satu serangan mereka dan menangkis dua serangan yang lain. Karena serangannya gagal, mereka kelihatan marah mereka kembali menyerang. Aku berpikir jika aku tidak menyerang balik, sepertinya mereka tidak akan berhenti. Akhirnya aku tidak hanya menghindari dan menangkis serangan mereka, tapi kulanjutkan dengan menyerang mereka namun dengan serangan yang tidak berbahaya dan tidak terlalu menyakitkan. Terkena seranganku tersebut ternyata tidak menyurutkan niat mereka, malah membuat mereka semakin marah.
“Ternyata bisa berkelahi, pantas berlagak”, kata salah satu dari mereka.
“Tapi apakah bisa menghadapi kami bertiga?”, kata yang lain sambil bergerak kesampingku, sedangkan yang lain bergerak ke arah belakangku. Ternyata mereka berusaha mengepungku. Merasa sudah tidak diperhatikan, murid yang akan dipalak tadi sudah lari dan pergi meninggalkan kami. Sepertinya aku harus menyakiti mereka agar bisa menghentikan perkelahian ini. Maka akupun bersiap dengan kuda-kudaku.
Mereka mulai menyerang secara bersamaan. Walaupun perbedaannya sangat singkat, dengan kecepatan penglihatanku terlihat mana yang serangannya akan sampai terlebih dulu, itu yang kutangkis lebih dulu, kemudian aku menghindari serangan kedua sambil menyerang dan menghindari serangan ketiga, kulanjutkan dengan serangan kedua dan ketiga. Seranganku ke arah ulu hati mereka semua, sehingga mereka kesakitan dan jatuh terduduk.
“Masih mau diteruskan?”, tanyaku mengancam seakan mau menyerang lagi.
“Ti..ti..tidak”, kata mereka dengan terbata-bata karena kesulitan bicara karena terkena serangan di ulu hati, sambil memegangi dada mereka yang sakit.
“Kalau kalian masih memalak murid-murid SMA ini lagi, akan kuhajar kalian”, kataku mengancam.
“Ampun, kami tidak akan memalak lagi”, jawab salah satu dari mereka yang sudah tidak terbata-bata bicaranya. Akupun pergi meninggalkan mereka.
Sepertinya benar apa kata pemimpin geng waktu itu. Setelah dia lulus murid-murid nakal mulai bertingkah lagi. Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur apalagi sampai berkelahi. Namun jika menemui kejadian seperti tadi, aku merasa bersalah jika tidak menolongnya. Aku bingung apakah aku perlu menceritakan hal ini ke ayah atau tidak. Akhirnya aku putuskan untuk tidak menceritakannya pada ayah. Aku juga tidak memikirkannya lagi. Aku kembali fokus memikirkan tantangan 3 kali kena.
(penyadur: karena tidak ada nama untuk pemimpin geng SMA 1 ini, jadi kata yang dipakai adalah pemimpin geng. Kita harus bisa menangkap maksud kata pemimpin geng dalam kalimat berdasarkan konteksnya, apakah berarti pemimpin geng SMA 1 atau yang dimaksud pemimpin geng secara umum).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar