Di rumah, aku meminta pendapat pada ayah dan ibu tentang kemungkinan sekolah kami diserang geng lain tersebut. Agar ayah dan ibu lebih memahami permasalahannya, aku menceritakan tentang pemimpin geng SMA kami dan hubungan antar geng. Termasuk cerita tentang geng Agus dan permintaan pemimpin geng SMA kami agar aku menggantikannya. Aku menceritakan secara urut kejadian-kejadian yang terkait, mulai dari geng Agus menghajar aku dulu sampai dengan permintaan geng Agus di sekolah tadi. Ayah hanya diam mendengarkan. Aku khawatir ayah marah karena aku terlibat permasalahan geng.
“Bagaimana ini Yah?”, tanya ibu yang kelihatan sedih atau khawatir.
“Kamu masih suka dan semangat belajar silat?”, tanya ayah tiba-tiba setelah beberapa saat terdiam.
“Masih Yah”, jawabku singkat dengan agak gugup karena khawatir ayah akan marah. “Kenapa ayah menanyakan itu?”, tanyaku penasaran jangan-jangan ayah akan melarangku berlatih silat gara-gara hal yang kuceritakan tadi.
“Kamu masih ingat ketika ayah dan ibu membahas apakah sudah waktunya bercerita padamu tentang silat?”, tanya ayah. Aku hanya mengangguk. “Sebenarnya ayah dan ibu sampai berdebat tentang apakah akan mengajarimu menjadi pesilat atau tidak”, lanjut ayah. Aku jadi teringat bahwa ayah dan ibu terdengar sedang berdebat waktu itu. “Akhirnya diputuskan bahwa ayah dan ibu akan mengajarimu silat secara bertahap namun keputusan untuk menjadi pesilat atau tidak biar kamu yang menentukan jika waktunya sudah tiba”, lanjut ayah. Aku jadi penasaran apa maksud perkataan ayah, namun aku diam saja menunggu penjelasan ayah lebih lanjut.
“Awalnya ayah dan ibu mengajarimu ilmu silat namun melarangmu untuk berkelahi, apalagi kalau sampai menggunakan gerakan-gerakan silat. Awalnya ayah dan ibu juga tidak menjelaskan pengertiaan silat yang sesungguhnya. Namun ternyata kamu berkelahi di sirkus. Sehingga setelah ayah dan ibu berdiskusi, diputuskan untuk menjelaskan padamu tentang pengertian silat yang sesungguhnya. Namun ayah dan ibu masih melarangmu untuk berkelahi, apalagi kalau sampai menggunakan ilmu silat”, kata ayah menjelaskan. “Namun ternyata kamu sudah beberapa kali berkelahi menggunakan ilmu silat. Perkelahianmu karena membela diri, sehingga ayah membolehkan kamu berkelahi dengan ilmu silat namun harus hati-hati”, lanjut ayah.
“Namun berdasarkan ceritamu tadi, perkelahianmu ternyata tidak hanya membela diri. Kamu juga sudah menggunakan jurus-jurus yang berbahaya. Makanya ayah tanya, apakah kamu benar-benar masih ingin belajar silat?”, kata ayah.
“Masih Yah”, jawabku memberanikan diri karena khawatir ayah akan marah.
“Apakah kamu benar-benar mau menjadi pesilat?”, tanya ayah lagi menegaskan.
“Kamu pikir baik-baik Ya”, kata ibu menasehatiku. “Sebagaimana yang ayah dan ibu dulu ceritakan, silat yang sesungguhnya bukan hanya sekedar olahraga atau beladiri”, lanjut ibu.
“Iya Bu”, jawabku. “Seperti yang ayah ceritakan, silat yang sesungguhnya lebih berbahaya karena pertarungan bisa sampai meninggal atau luka parah”, lanjutku menjelaskan bahwa aku paham. Dari arah pembicaraan sepertinya bukan untuk memarahiku, sehingga aku masih penasaran.
“Selama ini ayah dan ibu mengajarimu ilmu silat dan melarangmu berkelahi menggunakan ilmu silat, dan membolehkanmu memakai ilmu silat hanya untuk membela diri, karena ayah dan ibu tidak mengarahkanmu menjadi pesilat. Ayah dan ibu hanya mengarahkanmu belajar silat untuk beladiri, dan menyerahkan keputusan untuk menjadi pesilat padamu. Sehingga ayah dan ibu membolehkanmu duel melawan temannya Agus agar kamu merasakan silat dan karena mereka yang menghajarmu lebih dulu”, kata ayah. “Namun jika kamu sudah yakin mau untuk menjadi pesilat, maka perlu ayah jelaskan tanggung jawab sebagai pesilat”, lanjut ayah. Akhirnya aku paham bahwa maksud ayah dan ibu bukan untuk memarahiku.
“Belajar silat bukan untuk gaya-gayaan (sombong), bukan untuk menyakiti orang lain, bukan untuk berbuat jahat”, kata ayah.
“Iya Yah. Ayah dan ibu kan sudah sering bilang begitu”, jawabku memotong kalimat ayah.
“Iya, benar jika silat hanya untuk beladiri. Namun sebagai pesilat, tanggung jawabnya lebih besar lagi”, lanjut ayah. Aku jadi diam karena ternyata salah.
“Pesilat harus selalu berusaha membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan (justice)”, kata ayah. “Jika kamu menemui orang yang sedang dianiaya (ditindas/disakiti) dan tidak bisa melawan, maka harus kamu bantu”, lanjut ayah. “Pesilat kan mempunyai kekuatan atau kemampuan bertarung lebih dari orang biasa sehingga punya tanggung jawab menolong orang lain dengan kemampuannya tersebut”, lanjut ayah menjelaskan. “Semua orang yang ahli di bidang tertentu punya tanggung jawab untuk membantu orang lain yang kesulitan dengan keahliannya tersebut. Misalnya dokter, punya tanggung jawab membantu orang lain yang sakit mendesak dengan keahliannya”, lanjut ayah.
“Namun karena sudah ada polisi yang bertugas khusus menjaga ketertiban dan keamanan, maka tanggung jawabmu membantu orang lain tersebut jangan sampai mengganggu tugas mereka”, kata ayah lebih lanjut. “Sebagaimana dokter, hanya membantu untuk keadaan darurat yang dia temui, karena secara umum sudah ada rumah sakit dan dokter yang bertugas di rumah sakit”, lanjut ayah. “Jadi kamu harus bisa menimbang (memikirkan dan kemudian memutuskan) sejauh mana membantu orang lain agar tidak terseret permasalahan orang tersebut dan tidak mengganggu tugas polisi”, lanjut ayah.
“Selain itu karena tujuannya untuk membela kebenaran dan keadilan, maka kamu harus bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah”, kata ayah lebih lanjut. “Jangan sampai kamu membela yang salah. Sehingga kamu harus hati-hati dan berusaha memahami duduk perkaranya (permasalahannya)”, lanjut ayah menjelaskan.
“Jadi apa yang harus kulakukan jika SMA-ku nanti diserang, Yah?”, tanyaku pada ayah tentang permasalahan yang kuhadapi.
“Kamu harus bisa memutuskan sendiri”, jawab ayah. “Seperti yang ayah bilang tadi bahwa kamu harus bisa menimbang untuk menolong orang. Sehingga ayah tidak mau menjawab karena itu bagian dari tanggung jawab tersebut”, lanjut ayah.
“Baik Yah”, jawabku singkat. Akupun diam tidak ada pertanyaan lagi.
“Selain tanggung jawab sebagai pesilat, ayah juga perlu mengingatkanmu tentang konsekuensi sebagai pesilat”, kata ayah lebih lanjut setelah melihatku, seakan menunggu apakah aku ada pertanyaan lagi atau tidak.
“Sebagaimana yang pernah ayah jelaskan bahwa kekerasan tidak dapat diterima karena melanggar aturan masyarakat. Padahal silat terkait kekerasan. Sehingga selama ini ayah dan ibu selalu melarangmu berkelahi atau memakai silat kecuali untuk membela diri”, kata ayah menjelaskan. “Namun karena kamu sudah memutuskan untuk menjadi pesilat, maka mau tidak mau kamu akan menggunakan kekerasan, sehingga kamu harus siap akan konsekuensinya”, lanjut ayah. “Konsekuensi dari menggunakan kekerasan, kamu bisa dianggap jahat atau kejam sehingga dikucilkan (tidak ada yang mau berteman), dikeluarkan dari sekolah, berurusan dengan polisi bahkan bisa sampai dihukum, tergantung tingkat kekerasan dan alasannya”, lanjut ayah. “Alasan yang secara umum bisa diterima atau dimaklumi adalah karena membela diri. Namun yang namanya membela diri seharusnya tidak sampai mencelakakan lawan, hanya sampai membuat lawan berhenti menyerangmu”, lanjut ayah. “Selain itu, biasanya yang dianggap salah adalah yang menyerang lebih dulu. Oleh karena itu ayah dan ibu selalu mengingatkan agar kalau bisa diselesaikan tanpa perkelahian, dan jika tidak bisa maka harus hati-hati dalam memakai ilmu silat”, lanjut ayah menjelaskan.
“Kalau untuk menolong atau membela orang lain bagaimana Yah?”, tanyaku memotong penjelasan ayah.
“Itulah yang akan ayah jelaskan”, jawab ayah seakan memintaku bersabar. “Alasan lain yang masih bisa dimaklumi adalah jika karena menolong atau membela orang lain yang dianiaya”, lanjut ayah. “Namun yang namanya menolong orang seharusnya hanya sampai membuat orang yang ditolong selamat, tidak sampai mencelakakan lawan. Selain itu orang tersebut memang perlu untuk ditolong, bukan turut campur permasalahan pribadi mereka. Makanya kamu harus hati-hati dalam menolong orang lain agar jangan sampai membela yang salah”, lanjut ayah.
Aku hanya diam, takut memotong penjelasan ayah lagi.
“Konsekuensi lain sebagai pesilat adalah kamu jadi terlibat di dunia silat sehingga akan banyak pesilat lain yang mengajak duel atau sekedar adu jurus. Sehingga kamu harus selalu siap dan waspada”, lanjut ayah menjelaskan. “Itulah kenapa ayah dan ibu melarangmu berkelahi apalagi kalau sampai memakai ilmu silat. Karena ayah dan ibu tidak ingin kamu terlibat dunia silat sebelum kamu siap. Begitu kamu diketahui orang lain pandai silat, maka akan ada orang yang ingin mengadu jurus atau duel denganmu”, lanjut ayah. “Namun sekarang kamu sudah memutuskan untuk jadi pesilat, maka ayah ingatkan akan konsekuensi tersebut”, kata ayah.
Aku memahami konsekuensi ini karena aku sendiri juga penasaran jika tahu ada jurus yang hebat. Seperti penasaranku terhadap jurus Bunga.
“Selanjutnya, karena pesilat mempunyai tanggung jawab untuk membela kebenaran, maka kamu akan mempunyai musuh, yaitu orang yang membencimu”, kata ayah melanjutkan penjelasan tentang konsekuensi sebagai pesilat. “Ketika orang sudah sangat benci terhadapmu maka bisa saja mereka berbuat curang untuk mengalahkanmu. Karena sudah pernah kamu kalahkan, mereka tidak akan memakai cara yang jujur untuk melawanmu karena mereka sadar akan kalah. Ketika memakai cara curang juga tidak bisa mengalahkanmu, maka mereka akan mengincar orang yang kamu sayangi disekitarmu”, lanjut ayah. “Jadi kamu harus berhati-hati dalam mengalahkan orang jangan sampai membuat orang tersebut dendam. Tegaskan pada orang tersebut bahwa niatmu hanya menolong bukan untuk bermusuhan. Kamu juga harus berhati-hati dalam memperkenalkan diri pada lawanmu, agar lawanmu tidak mengincar orang-orang di sekitarmu”, lanjut ayah.
“Iya Yah”, jawabku pendek setelah ayah kelihatan sudah selesai menjelaskan. Aku berusaha memahami penjelasan ayah dan memikirkan apa yang harus kulakukan jika SMA-ku jadi diserang.
gara-gara covid-19 jd lama gak update. semoga pandemi ini segera berakhir. aamiin
BalasHapus