Setiap hari aku dan Bunga bermain di taman kota maupun di taman pinggir
sungai. Namun tidak setiap hari kami ikut bermain dengan komunitas gaya bebas
tersebut. Kadang kami hanya menonton sambil menikmati makanan atau minuman
ringan yang dijual pedagang di sekitar taman kota. Sebagai taman utama di
kotaku, taman kota banyak dipakai untuk kegiatan dan rekreasi. Tidak hanya
komunitas gaya bebas, banyak juga komunitas lain yang melakukan kegiatan di
taman kota. Aku dan Bunga berkeliling menonton berbagai macam kegiatan dari
berbagai komunitas di taman kota, juga pertunjukkan-pertunjukkan lainnya yang
ada di taman kota. Ini seperti kegiatanku dengan Bunga yang mencoba berbagai
kegiatan klub di sekolah, tapi ini di taman kota.
“Ya, liburan hampir selesai, tidak apa-apa nih kita tidak jalan-jalan
(liburan/piknik/tamasya) sekeluarga?”, tanya ibu kepadaku di suatu malam ketika
makan malam bersama, sambil melirik ke arah ayah seakan menyindir ayah. Ayah
hanya diam saja.
“Gak apa-apa Bu, lagipula aku kan ada kegiatan berlatih silat”, jawabku.
Ayah tersenyum seakan bangga akan jawabanku, sambil melihat ke arah ibu.
“Bukan karena sudah jalan-jalan sendiri dengan temanmu itu, kan?”, tanya
ibu seakan menggodaku (teasing). Aku
tahu bahwa yang dimaksud ibu adalah Bunga. Ibu sepertinya tahu bahwa setiap
hari aku jalan-jalan dengan Bunga ke taman kota.
“Teman cowok (laki-laki) atau cewek (perempuan)?”, tanya ayah tiba-tiba
seakan curiga.
“Cewek (perempuan), Yah”, jawabku singkat. Ayah seperti tidak suka (tidak
berkenan).
“Biarkan saja Yah, biar Arya mengalami seperti anak muda pada umumnya”,
kata ibu seakan membelaku. Aku berpikir apakah yang dimaksud ibu adalah aku
mengalami cinta?
“Ayah belum mengkhawatirkan Arya karena sepertinya Arya belum
mengalaminya. Tapi ayah mengkawatirkan jangan sampai terjadi seperti dengan
Mawar dulu”, kata ayah. “Coba ceritakan semua tentang temanmu itu”, kata ayah.
Kemudian aku menceritakan bagaimana Bunga menyelamatkanku di sirkus. Lalu
aku cerita bagaimana Bunga tiba-tiba menyapaku dan berkenalan denganku. Aku
juga menceritakan bagaimana Bunga mengantarku menantang Agus dan menemaniku
serta menjadi saksi duelku dengan Agus.
“Jadi Bunga bisa silat?”, tanya ayah memotong ceritaku.
Dari ceritaku dapat disimpulkan bahwa Bunga tahu kalau aku bisa silat.
Tapi darimana ayah bisa menyimpulkan bahwa Bunga bisa silat? Sebenarnya aku
tidak ingin menceritakan bahwa Bunga bisa silat. Tetapi karena ayah bisa
menebak, akhirnya kuceritakan dengan detil semua tentang Bunga, tentang
bagaimana aku bertarung dengannya dan sempat kalah, tentang kemampuan
keseimbangan tubuhnya, tentang sarannya untuk mengalahkan tantangan 10 menit,
tentang ajakannya mencoba kegiatan klub sampai dengan terakhir tentang
ajakannya bermain di taman kota.
“Kamu masih ingat gerakan jurus Bunga? Coba tunjukkan ke ayah”, kata ayah.
Akupun menceritakan bahwa jurusnya pernah kupakai melawan ayah pada
tantangan 10 menit. Aku juga mengungkapkan analisisku terhadap jurus Bunga yang
gerakannya sulit namun serangannya seakan tidak berbahaya. Aku juga
menceritakan penasaranku pada Bunga yang cara bicaranya seakan sudah tahu apa
yang kupikirkan termasuk bagaimana Bunga selalu menghindar seakan dia sudah
tahu bahwa aku akan bertanya tentang dia.
“Sepertinya dia sangat perhatian denganmu sehingga tahu tentang dirimu”,
kata ibu. “Lagipula, kamu hanya fokus ke silat jadi mudah ditebak sehingga
seakan dia tahu apa yang kamu pikirkan”, lanjut ibu. “Dia menghindar
pembicaraan tentang dirinya, mungkin karena dia ingin kamu berusaha mencari
tahu sendiri tentang dia, bukan dengan bertanya ke dia, sebagaimana dia mencari
tahu sendiri tentangmu”, tambah ibu.
Aku tidak paham mengapa harus begitu, bukankah lebih mudah dengan bertanya
langsung ke Bunga? Namun ibu hanya menjawab, “begitulah wanita, kadang susah
untuk dipahami, suatu saat kau akan mengerti”.
“Apakah kamu masih ingin terus berteman dengannya?”, tanya ibu kelihatan
serius. Aku kurang paham maksud pertanyaan ibu, jadi jawabanku agak panjang.
“Iya, dari teman-temanku yang ada, hanya Bunga yang mengerti aku. Dia tahu
bahwa aku bisa silat, dan dia juga bisa silat, sedangkan aku fokus di silat,
sehingga hanya dengan Bunga aku bisa ngobrol tanpa khawatir ketahuan kalau aku
bisa silat”, jawabku. “Ayah kan melarangku memberitahu temanku bahwa aku bisa
silat, maka aku tidak memberitahu temanku bahwa aku bisa silat, termasuk Andi
teman sebangkuku yang paling sering ngobrol denganku. Karena itu aku jadi
jarang bermain dengan Andi lagi, apalagi sejak aku tidak ikut klub basket”,
lanjutku.
“Iya, ibu paham”, kata ibu. “Menurut ibu, Bunga mengerti tentang kamu
karena dia memang berusaha untuk mengerti dirimu. Hal-hal yang dia lakukan pun
sepertinya untuk dirimu, agar kamu tidak hanya fokus tentang silat terus”,
lanjut ibu. “Agar bertahan lama, pertemanan harusnya dua arah, jadi saran ibu,
kamu juga harus berusaha mengerti tentang Bunga dan sekali-kali kamu yang
mengajak atau punya ide (inisiatif) duluan, jangan menunggu diajak terus”, kata
ibu menjelaskan. Aku jadi mengerti maksud pertanyaan ibu tadi.
“Bagaimana menurut ayah?”, tanya ibu pada ayah yang dari tadi hanya diam
saja.
“Sepertinya Bunga orangnya pintar dan lebih dewasa. Dari ceritamu,
sepertinya dia belajar silat dari orang tuanya. Jika dia belajar silat dari perguruan
silat, kemungkinan besar ayah akan tahu jurusnya, apalagi jurusnya tersebut
bisa mengalahkan salah satu jurusmu”, kata ayah. “Namun dia sepertinya tidak ingin
jadi pesilat, karena walaupun tahu kamu punya jurus yang hebat tapi tidak minta
diajari”, lanjut ayah. “Menurut ayah, dia bisa menebak bahwa ayah sudah
menyiapkan latihan untukmu karena pengalamannya belajar silat dengan orang
tuanya. Entah apa yang terjadi dengan latihan silatnya, sepertinya dia berusaha
agar kamu tidak hanya terlalu fokus ke silat makanya dia seakan menghindar jika
kamu ajak ngobrol tentang silat dan dia berusaha mengajakmu melakukan hal-hal
menarik lain selain silat”, kata ayah menjelaskan hasil analisisnya tentang
Bunga.
“Tentang tidak boleh bercerita bahwa kamu bisa silat, bukan berarti
membatasi pertemanan. Kamu bisa berteman dengan siapa saja tanpa harus
bercerita bahwa kamu bisa silat. Kalaupun akhirnya temanmu tahu kamu bisa silat
ya sudah tidak masalah. Yang terlarang kan berkelahi”, kata ayah. “Mencoba
kegiatan klub dan bermain di taman kota kan tidak terkait silat, jadi bisa kamu
lakukan dengan siapa saja”, lanjut ayah.
“Tapi itu kan yang ngajak Bunga, Yah. Arya kan memang begitu, pendiam dan
tidak pernah ngajak ngobrol lebih dulu. Makanya dari dulu tidak punya teman
dekat”, jawab ibu membelaku.
“Iya. Maksud ayah, setelah ini Arya bisa berteman dengan siapa saja tanpa
perlu takut ketahuan bisa silat. Lagipula yang dilakukan dengan temannya
biasanya hal-hal di luar silat”, jawab ayah menjelaskan.
“Jadi bagaimana dengan pertemananku dengan Bunga Yah?”, tanyaku meminta
kepastian.
“Gak masalah. Tapi coba kamu cari tahu tentang Bunga. Ayah penasaran siapa
orang tuanya”, jawab ayah. “Kalau tentang perasaan dan pertemanan, ibumu yang
lebih mengerti. Ayah hanya berpesan kamu berhati-hati jangan sampai ada masalah
seperti dengan Mawar”, kata ayah.
“Masih ingat cara menguji perasaan yang ibu ajari, kan?”, tanya ibu. “Itu
bisa kamu pakai untuk mengukur perasaanmu maupun perasaan orang lain
terhadapmu, sehingga kamu bisa hati-hati”, kata ibu. “Tentang pertemanan,
terserah dirimu, mana yang nyaman buatmu. Tidak perlu dipaksakan bahwa kamu
harus lebih terbuka. Jadilah dirimu sendiri. Dan seperti yang tadi ibu bilang,
pertemanan yang baik adalah dua arah”, lanjut ibu. “Kalau tentang Bunga, ibu
belum bisa menebak apa maksud dia sebenarnya. Jadi coba kamu cari tahu lebih
banyak tentang dia”, lanjut ibu. Aku hanya mengiyakan pesan ayah dan ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar