Senin, 08 Mei 2017

#27 Melawan Pelatih Silat




Siang itu sepulang sekolah aku menuju ke halaman belakang sekolah untuk melihat ekskul silat*. Ekskul silat agak berbeda dengan ekskul lain yang ada di SMA-ku. Untuk bisa mengikuti ekskul silat, selain harus mendaftar, murid-murid SMA-ku harus membayar uang keanggotaan setiap bulan untuk membayar gaji pelatih silat yang didatangkan dari luar sekolah. Jadi pelatih yang menjadi guru pembimbingnya bukan guru yang mengajar di SMA-ku.
(*penyadur: dipakai istilah silat untuk menyamarkan jenis beladiri yang diajarkan dalam ekstrakurikuler tersebut.)

“Kamu mau ikut latihan basket lagi?”, tanya Andi sambil tersenyum yang tiba-tiba sudah berjalan di sampingku. Mungkin Andi mengira aku berjalan menuju lapangan bola basket untuk ikut latihan bola basket lagi. Sejak terakhir aku cerita ke Andi bahwa aku menantang Agus berkelahi, Andi tidak pernah menanyaiku tentang latihan bola basket.
“Klub semakin sepi. Kakak kelas 3 tidak datang lagi ke latihan karena sibuk belajar untuk ujian akhir. Kalau kamu ikut latihan semoga jadi lebih seru”, kata Andi berharap.
“Maaf Ndi, aku bukan mau ikut latihan basket, aku mau ke halaman belakang, dah ya..”, kataku ke Andi sambil meninggalkannya karena berpisah jalan.
Di halaman belakang sekolah aku mengamati dari tempat agak jauh kegiatan ekskul silat. Setelah pelatih silat datang, mereka memperagakan gerakan-gerakan silat secara bersama-sama. Pelatih silat memberikan aba-aba sambil berjalan berkeliling mengamati gerakan silat murid-murid satu per satu dan mengkoreksi jika ada yang gerakan silatnya kurang sempurna. Aku mengamati gerakan-gerakan mereka dengan seksama sambil berusaha menghafalkan. Gerakan-gerakan silat tersebut bukan gerakan-gerakan yang sulit sehingga aku bisa dengan mudah mengikuti dan memahami. Setelah itu pelatih silat memperagakan gerakan silat baru untuk ditirukan dan dihafalkan. Setelah selesai melakukan gerakan-gerakan silat secara bersama-sama, mereka melakukan latih tanding.
“Sudah hafal semua jurusnya?”, tanya Bunga yang tiba-tiba datang sambil berjalan mendekatiku. Aku tidak heran jika Bunga bisa menemukanku disini.
“Yah begitulah. Karena jurus yang diajarkan bukan jurus yang sulit”, jawabku.
“Tapi aku tidak yakin apakah berguna untuk melawan ayahku”, lanjutku.
Aku melanjutkan mengamati latih tanding ekskul silat bersama Bunga sambil mengobrol mengomentari murid-murid yang berlatih tanding tersebut. Setelah mengamati beberapa saat sepertinya tidak ada gerakan silat yang istimewa maka kami pun pulang.
Di rumah aku melatih apa yang tadi sudah kuamati dan kuhafalkan. Walaupun aku tidak yakin akan berguna untuk melawan ayah dalam tantangan 10 menit tapi tidak ada salahnya belajar gerakan-gerakan silat yang baru untuk variasi gerakan silat. Hasil latihanku tersebut belum kugunakan untuk melawan ayah maupun ibu.
Hari berikutnya, kembali Andi menyapaku ketika aku akan melihat ekskul silat.
“Kamu ke belakang ngapain? Kamu ikut ekskul lain?”, tanya Andi.
“Nggak, cuma mau lihat ekskul silat”, jawabku jujur.
“Untuk apa belajar silat? Kamu mau balas dendam ke kak Agus?”, tanya Andi. Aku heran apa maksud pertanyaan Andi. Jangan-jangan Andi mengira bahwa aku dikalahkan Agus.
“Tidak. Aku sudah tidak ada masalah dengan kak Agus kok”, jawabku.
“Tapi kenapa sudah tidak pernah latihan basket lagi? Padahal kemungkinan besar kamu bisa jadi tim inti karena kakak kelas 3 sudah tidak aktif lagi”, tanya Andi. Aku bingung mau menjawab bagaimana. Tidak mungkin aku menceritakan kepada Andi bahwa aku sibuk berlatih silat sehingga aku tidak sempat bermain bola basket.
“Aku sedang kurang semangat bermain basket, jadi ini aku sedang melihat-lihat ekskul lain mungkin ada yang menarik”, jawabku agak berbohong agar tidak perlu menjelaskan kepada Andi tentang latihan silatku. Akupun lalu berpisah jalan dengan Andi.
Di halaman belakang sekolah, kembali aku mengamati dari tempat agak jauh kegiatan ekskul silat. Kegiatannya masih sama dengan yang kemarin yaitu memperagakan gerakan-gerakan silat yang sudah diajarkan sampai dengan kemarin, kemudian pelatih silat mengajarkan beberapa gerakan silat selanjutnya. Aku mengamati sambil membandingkan dengan ingatanku mungkin ada gerakan yang belum kuingat. Bunga juga datang menemaniku mengamati ekskul silat dan mengajak ngobrol tentang mereka.
Tiba-tiba pelatih silatnya melihat kami dan berjalan ke arah kami.
“Kuperhatikan dari kemarin kalian mengamati kami berlatih. Kalian mau ikut silat?”, tanya pelatih silat tersebut. “Jika mau ikut, silakan isi formulir pendaftaran dan membayar biaya bulanan”, lanjutnya.
“Temanku ini mau menguji dulu kemampuan silat pelatihnya sebelum memutuskan untuk ikut”, kata Bunga menunjuk ke arahku sambil tersenyum seakan mengumpankan aku.
“Bukan, bukan begitu pak, kami hanya…”, kataku cepat-cepat mencoba menjelaskan ke pelatih silatnya tapi kalimatku sudah dipotong.
“Wajar kalau kamu berpikiran begitu”, kata pelatih silat memotong kalimatku.
“Baiklah, bersiaplah, kamu atau aku yang menyerang lebih dulu?”, tanya pelatih silat tersebut dengan percaya diri. Bunga tersenyum sambil mengedipkan mata ke arahku seakan memberi kode untuk menerima tantangan pelatih silat tersebut.
“Silakan bapak yang duluan”, jawabku setelah memutuskan untuk bertarung. Aku mempersilakan pelatih silat menyerang lebih dulu karena aku ingin mempelajari jurusnya.
Aku memakai kuda-kuda umum sebagaimana ketika melawan temannya Agus. Pelatih silat tersebut menyerangku dengan cepat, hampir saja aku terlambat untuk menghindar. Dia lanjutkan dengan serangan-serangan berikutnya yang juga cepat. Gerakan-gerakan jurusnya yang cepat menunjukkan bahwa dia memang sangat menguasai jurusnya. Jurusnya bukan jurus yang sulit sehingga aku masih bisa menghindarinya. Aku terus menghindar sambil berusaha memperhatikan gerakan-gerakannya. Setelah terbiasa dengan kecepatannya akhirnya aku bisa memperhatikan gerakan-gerakannya. Ternyata dia menggunakan jurus yang diperagakan ekskul silat tadi. Walaupun dia yang menentukan ritme pertarungan, namun karena aku sudah mempelajari jurus tersebut maka aku masih bisa terus menghindari serangan-serangannya. Namun kemudian ada gerakan-gerakannya yang belum kuketahui.
Aku mulai kewalahan untuk menghindarinya sampai akhirnya aku harus menangkis. Dengan kombinasi menghindar dan menangkis, aku kembali berusaha memperhatikan gerakan-gerakannya. Sepertinya dia memakai gerakan-gerakan yang belum dipelajari di ekskul silat. Tingkat kesulitan gerakan-gerakannya masih setara dengan gerakan-gerakan sebelumnya sehingga aku masih bisa terus menghindar atau menangkis. Tapi kemudian gerakan-gerakannya mulai lebih sulit. Karena dia yang menguasai ritme pertarungan, maka aku mulai kewalahan menghindari dan menangkis terus. Sebelum benar-benar terdesak, aku melakukan gerakan serangan sehingga ritme pertarungan tidak lagi tergantung dia. Sekarang pertarungannya adalah pertarungan adu jurus.
Aku memakai jurus yang kira-kira tingkat kesulitannya setara dengan jurus yang dia pakai. Dia bisa menghindari atau menangkis semua seranganku. Aku juga bisa menghindari atau menangkis serangannya. Aku masih berusaha memperhatikan gerakan-gerakan silatnya sambil terus menghindar dan menangkis serta menyerang.
“Cukup!”, kata pelatih silat sambil melompat kebelakang. Akupun menghentikan seranganku.
“Ternyata ilmu silatmu sudah lumayan. Kamu dari aliran* apa?”, tanya pelatih silat tersebut.
“Aku tidak tahu. Guruku tidak pernah memberitahuku”, jawabku apa adanya.
“Hati-hati nak, jangan sampai kamu terlibat aliran hitam*”, kata pelatih silat menasehatiku. “Silat hanya untuk olahraga dan beladiri, bukan untuk pamer atau menyakiti orang”, lanjut dia.
(*penyadur: istilah aliran adalah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan istilah aliran hitam akan dijelaskan kemudian.)
Dia lalu menyuruh murid-murid ekskul silat yang sedang berkerumun menonton pertarungan kami tadi agar kembali melanjutkan latihan silat. Aku dan Bunga memutuskan untuk pergi.
“Kenapa tadi memancing pelatih silat (untuk bertarung)?”, tanyaku ke Bunga.
“Kalau tidak dipancing (untuk bertarung) mana mungkin bisa mengetahui semua jurusnya”, jawab Bunga. “Kan gak mungkin mengamati latihan ekskul silat terus-menerus hanya untuk mengetahui keseluruhan jurusnya, mau sampai kapan?”, lanjut Bunga.
“Tapi jadi ketahuan orang lain kalau aku bisa silat. Lagipula bagaimana jika aku tadi sampai kalah?”, kataku.
“Pelatih bersabuk hijau*, sedangkan kemampuan silatmu menurutku kurang lebih setara sabuk hijau* atau bahkan lebih tinggi, jadi aku tidak khawatir kamu kalah. Kalaupun kalah, pelatih tidak akan melukaimu karena dia mengajari silat untuk beladiri bukan untuk melukai orang. Lagipula jika jurusnya bisa mengalahkanmu berarti jurusnya layak untuk kamu pelajari kan?”, kata Bunga menjelaskan.
(*penyadur: dipakai warna sabuk hijau untuk menyamarkan jenis beladiri yang diajarkan dalam ekstrakurikuler tersebut.)
“Aku justru khawatir jika kamu mengalahkannya, bisa tersebar kemana-mana dan jadi pembicaraan banyak orang”, kata Bunga. “Kalau sekarang yang menonton kan hanya murid-murid ekskul silat, jadi gak masalah jika mereka tahu kamu bisa silat”, lanjut Bunga.
Aku diam saja tidak membantah penjelasan Bunga. Apalagi hal tersebut sudah terlanjur terjadi, jadi tidak ada gunanya diperdebatkan. Untunglah tidak ada murid lain yang menonton pertarunganku tadi selain murid-murid ekskul silat.
“Bagaimana, sudah kamu ingat jurus dari pelatih tadi?”, tanya Bunga. Aku mengangguk.
“Tapi menurutku belum cukup untuk mengalahkan tantangan 10 menit”, jawabku.
“Selama ini bagaimana caramu bertarung sehingga kamu bisa menang? Misalnya ketika melawanku atau melawan temannya Agus”, tanya Bunga.
“Aku memperhatikan jurusnya dan berusaha melawan dengan jurus yang sesuai”, jawabku setelah memikirkannya.
“Nah coba lakukan hal-hal tersebut ketika melawan ayahmu”, kata Bunga menyarankan.
Aku merasa selama ini sudah memperhatikan jurus ayah dan melawan dengan jurus yang sesuai, tapi belum berhasil mengenai ayah. Aku jadi kepikiran apakah ada hal-hal yang terlewat dari perhatianku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar