Siang itu sepulang sekolah aku menuju ke halaman belakang sekolah untuk
melihat ekskul silat*. Ekskul silat agak berbeda dengan ekskul lain yang ada di
SMA-ku. Untuk bisa mengikuti ekskul silat, selain harus mendaftar, murid-murid
SMA-ku harus membayar uang keanggotaan setiap bulan untuk membayar gaji pelatih
silat yang didatangkan dari luar sekolah. Jadi pelatih yang menjadi guru
pembimbingnya bukan guru yang mengajar di SMA-ku.
(*penyadur: dipakai istilah silat
untuk menyamarkan jenis beladiri yang diajarkan dalam ekstrakurikuler tersebut.)
“Kamu mau ikut latihan basket lagi?”, tanya Andi sambil tersenyum yang
tiba-tiba sudah berjalan di sampingku. Mungkin Andi mengira aku berjalan menuju
lapangan bola basket untuk ikut latihan bola basket lagi. Sejak terakhir aku
cerita ke Andi bahwa aku menantang Agus berkelahi, Andi tidak pernah menanyaiku
tentang latihan bola basket.
“Klub semakin sepi. Kakak kelas 3 tidak datang lagi ke latihan karena
sibuk belajar untuk ujian akhir. Kalau kamu ikut latihan semoga jadi lebih seru”,
kata Andi berharap.
“Maaf Ndi, aku bukan mau ikut latihan basket, aku mau ke halaman belakang,
dah ya..”, kataku ke Andi sambil meninggalkannya karena berpisah jalan.
Di halaman belakang sekolah aku mengamati dari tempat agak jauh kegiatan
ekskul silat. Setelah pelatih silat datang, mereka memperagakan gerakan-gerakan
silat secara bersama-sama. Pelatih silat memberikan aba-aba sambil berjalan
berkeliling mengamati gerakan silat murid-murid satu per satu dan mengkoreksi
jika ada yang gerakan silatnya kurang sempurna. Aku mengamati gerakan-gerakan
mereka dengan seksama sambil berusaha menghafalkan. Gerakan-gerakan silat
tersebut bukan gerakan-gerakan yang sulit sehingga aku bisa dengan mudah mengikuti
dan memahami. Setelah itu pelatih silat memperagakan gerakan silat baru untuk
ditirukan dan dihafalkan. Setelah selesai melakukan gerakan-gerakan silat
secara bersama-sama, mereka melakukan latih tanding.
“Sudah hafal semua jurusnya?”, tanya Bunga yang tiba-tiba datang sambil berjalan
mendekatiku. Aku tidak heran jika Bunga bisa menemukanku disini.
“Yah begitulah. Karena jurus yang diajarkan bukan jurus yang sulit”,
jawabku.
“Tapi aku tidak yakin apakah berguna untuk melawan ayahku”, lanjutku.
Aku melanjutkan mengamati latih tanding ekskul silat bersama Bunga sambil
mengobrol mengomentari murid-murid yang berlatih tanding tersebut. Setelah
mengamati beberapa saat sepertinya tidak ada gerakan silat yang istimewa maka
kami pun pulang.
Di rumah aku melatih apa yang tadi sudah kuamati dan kuhafalkan. Walaupun
aku tidak yakin akan berguna untuk melawan ayah dalam tantangan 10 menit tapi
tidak ada salahnya belajar gerakan-gerakan silat yang baru untuk variasi
gerakan silat. Hasil latihanku tersebut belum kugunakan untuk melawan ayah
maupun ibu.
Hari berikutnya, kembali Andi menyapaku ketika aku akan melihat ekskul
silat.
“Kamu ke belakang ngapain? Kamu ikut ekskul lain?”, tanya Andi.
“Nggak, cuma mau lihat ekskul silat”, jawabku jujur.
“Untuk apa belajar silat? Kamu mau balas dendam ke kak Agus?”, tanya Andi.
Aku heran apa maksud pertanyaan Andi. Jangan-jangan Andi mengira bahwa aku
dikalahkan Agus.
“Tidak. Aku sudah tidak ada masalah dengan kak Agus kok”, jawabku.
“Tapi kenapa sudah tidak pernah latihan basket lagi? Padahal kemungkinan
besar kamu bisa jadi tim inti karena kakak kelas 3 sudah tidak aktif lagi”,
tanya Andi. Aku bingung mau menjawab bagaimana. Tidak mungkin aku menceritakan
kepada Andi bahwa aku sibuk berlatih silat sehingga aku tidak sempat bermain bola
basket.
“Aku sedang kurang semangat bermain basket, jadi ini aku sedang
melihat-lihat ekskul lain mungkin ada yang menarik”, jawabku agak berbohong
agar tidak perlu menjelaskan kepada Andi tentang latihan silatku. Akupun lalu
berpisah jalan dengan Andi.
Di halaman belakang sekolah, kembali aku mengamati dari tempat agak jauh
kegiatan ekskul silat. Kegiatannya masih sama dengan yang kemarin yaitu
memperagakan gerakan-gerakan silat yang sudah diajarkan sampai dengan kemarin,
kemudian pelatih silat mengajarkan beberapa gerakan silat selanjutnya. Aku mengamati
sambil membandingkan dengan ingatanku mungkin ada gerakan yang belum kuingat.
Bunga juga datang menemaniku mengamati ekskul silat dan mengajak ngobrol
tentang mereka.
Tiba-tiba pelatih silatnya melihat kami dan berjalan ke arah kami.
“Kuperhatikan dari kemarin kalian mengamati kami berlatih. Kalian mau ikut
silat?”, tanya pelatih silat tersebut. “Jika mau ikut, silakan isi formulir
pendaftaran dan membayar biaya bulanan”, lanjutnya.
“Temanku ini mau menguji dulu kemampuan silat pelatihnya sebelum memutuskan
untuk ikut”, kata Bunga menunjuk ke arahku sambil tersenyum seakan mengumpankan
aku.
“Bukan, bukan begitu pak, kami hanya…”, kataku cepat-cepat mencoba
menjelaskan ke pelatih silatnya tapi kalimatku sudah dipotong.
“Wajar kalau kamu berpikiran begitu”, kata pelatih silat memotong
kalimatku.
“Baiklah, bersiaplah, kamu atau aku yang menyerang lebih dulu?”, tanya
pelatih silat tersebut dengan percaya diri. Bunga tersenyum sambil mengedipkan
mata ke arahku seakan memberi kode untuk menerima tantangan pelatih silat
tersebut.
“Silakan bapak yang duluan”, jawabku setelah memutuskan untuk bertarung.
Aku mempersilakan pelatih silat menyerang lebih dulu karena aku ingin
mempelajari jurusnya.
Aku memakai kuda-kuda umum sebagaimana ketika melawan temannya Agus.
Pelatih silat tersebut menyerangku dengan cepat, hampir saja aku terlambat
untuk menghindar. Dia lanjutkan dengan serangan-serangan berikutnya yang juga
cepat. Gerakan-gerakan jurusnya yang cepat menunjukkan bahwa dia memang sangat
menguasai jurusnya. Jurusnya bukan jurus yang sulit sehingga aku masih bisa
menghindarinya. Aku terus menghindar sambil berusaha memperhatikan
gerakan-gerakannya. Setelah terbiasa dengan kecepatannya akhirnya aku bisa memperhatikan
gerakan-gerakannya. Ternyata dia menggunakan jurus yang diperagakan ekskul
silat tadi. Walaupun dia yang menentukan ritme pertarungan, namun karena aku
sudah mempelajari jurus tersebut maka aku masih bisa terus menghindari
serangan-serangannya. Namun kemudian ada gerakan-gerakannya yang belum
kuketahui.
Aku mulai kewalahan untuk menghindarinya sampai akhirnya aku harus
menangkis. Dengan kombinasi menghindar dan menangkis, aku kembali berusaha
memperhatikan gerakan-gerakannya. Sepertinya dia memakai gerakan-gerakan yang
belum dipelajari di ekskul silat. Tingkat kesulitan gerakan-gerakannya masih
setara dengan gerakan-gerakan sebelumnya sehingga aku masih bisa terus
menghindar atau menangkis. Tapi kemudian gerakan-gerakannya mulai lebih sulit. Karena
dia yang menguasai ritme pertarungan, maka aku mulai kewalahan menghindari dan
menangkis terus. Sebelum benar-benar terdesak, aku melakukan gerakan serangan
sehingga ritme pertarungan tidak lagi tergantung dia. Sekarang pertarungannya
adalah pertarungan adu jurus.
Aku memakai jurus yang kira-kira tingkat kesulitannya setara dengan jurus
yang dia pakai. Dia bisa menghindari atau menangkis semua seranganku. Aku juga
bisa menghindari atau menangkis serangannya. Aku masih berusaha memperhatikan
gerakan-gerakan silatnya sambil terus menghindar dan menangkis serta menyerang.
“Cukup!”, kata pelatih silat sambil melompat kebelakang. Akupun
menghentikan seranganku.
“Ternyata ilmu silatmu sudah lumayan. Kamu dari aliran* apa?”, tanya
pelatih silat tersebut.
“Aku tidak tahu. Guruku tidak pernah memberitahuku”, jawabku apa adanya.
“Hati-hati nak, jangan sampai kamu terlibat aliran hitam*”, kata pelatih
silat menasehatiku. “Silat hanya untuk olahraga dan beladiri, bukan untuk pamer
atau menyakiti orang”, lanjut dia.
(*penyadur: istilah aliran adalah sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan istilah aliran hitam akan
dijelaskan kemudian.)
Dia lalu menyuruh murid-murid ekskul silat yang sedang berkerumun menonton
pertarungan kami tadi agar kembali melanjutkan latihan silat. Aku dan Bunga memutuskan
untuk pergi.
“Kenapa tadi memancing pelatih silat (untuk bertarung)?”, tanyaku ke
Bunga.
“Kalau tidak dipancing (untuk bertarung) mana mungkin bisa mengetahui
semua jurusnya”, jawab Bunga. “Kan gak mungkin mengamati latihan ekskul silat
terus-menerus hanya untuk mengetahui keseluruhan jurusnya, mau sampai kapan?”,
lanjut Bunga.
“Tapi jadi ketahuan orang lain kalau aku bisa silat. Lagipula bagaimana
jika aku tadi sampai kalah?”, kataku.
“Pelatih bersabuk hijau*, sedangkan kemampuan silatmu menurutku kurang lebih
setara sabuk hijau* atau bahkan lebih tinggi, jadi aku tidak khawatir kamu
kalah. Kalaupun kalah, pelatih tidak akan melukaimu karena dia mengajari silat
untuk beladiri bukan untuk melukai orang. Lagipula jika jurusnya bisa
mengalahkanmu berarti jurusnya layak untuk kamu pelajari kan?”, kata Bunga
menjelaskan.
(*penyadur: dipakai warna sabuk
hijau untuk menyamarkan jenis beladiri yang diajarkan dalam ekstrakurikuler
tersebut.)
“Aku justru khawatir jika kamu mengalahkannya, bisa tersebar kemana-mana
dan jadi pembicaraan banyak orang”, kata Bunga. “Kalau sekarang yang menonton
kan hanya murid-murid ekskul silat, jadi gak masalah jika mereka tahu kamu bisa
silat”, lanjut Bunga.
Aku diam saja tidak membantah penjelasan Bunga. Apalagi hal tersebut sudah
terlanjur terjadi, jadi tidak ada gunanya diperdebatkan. Untunglah tidak ada
murid lain yang menonton pertarunganku tadi selain murid-murid ekskul silat.
“Bagaimana, sudah kamu ingat jurus dari pelatih tadi?”, tanya Bunga. Aku
mengangguk.
“Tapi menurutku belum cukup untuk mengalahkan tantangan 10 menit”,
jawabku.
“Selama ini bagaimana caramu bertarung sehingga kamu bisa menang? Misalnya
ketika melawanku atau melawan temannya Agus”, tanya Bunga.
“Aku memperhatikan jurusnya dan berusaha melawan dengan jurus yang sesuai”,
jawabku setelah memikirkannya.
“Nah coba lakukan hal-hal tersebut ketika melawan ayahmu”, kata Bunga
menyarankan.
Aku merasa selama ini sudah memperhatikan jurus ayah dan melawan dengan
jurus yang sesuai, tapi belum berhasil mengenai ayah. Aku jadi kepikiran apakah
ada hal-hal yang terlewat dari perhatianku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar