Jumat, 22 April 2016

#13 Melawan murid-murid SMA 8

(sebelumnya #12)


Hari itu pertandingan terakhir SMA kami di babak penyisihan yaitu pertandingan antara SMA kami melawan SMA 8 yang dilaksanakan di lapangan bola basket SMA 8. Tim inti SMA kami terlihat lebih unggul dan menguasai pertandingan. Perbedaan skor (nilai) antara SMA kami dengan SMA 8 sudah banyak (jauh) padahal baru setengah permainan. Berdasarkan nilai klasemen sementara (urutan peringkat berdasarkan hasil pertandingan keseluruhan sampai dengan saat ini), SMA kami sudah dipastikan lolos ke babak final. Jika pertandingan kali ini menang maka SMA kami yang akan menjadi juara. Namun jika pertandingan kali ini kalah, SMA kami masih berpeluang menjadi juara atau menjadi runner up, tergantung hasil pertandingan SMA lain yang saat ini secara klasemen sementara menduduki peringkat nomor 2 (runner up). Berdasarkan hal-hal tersebut dan untuk memberi pengalaman bertanding para pemain cadangan, akhirnya sebelum babak terakhir bapak guru mengganti semua pemain sehingga yang bertanding adalah kami para pemain cadangan. Akhirnya aku diturunkan untuk bermain.
Aku masuk lapangan sebagai point guard. Saatnya tim SMA kami melakukan serangan (offense). Aku membawa bola dari garis belakang sedangkan pemain tim SMA 8 dan teman-teman tim SMA kami sudah berlari ke depan ke daerah tim SMA 8, sehingga tidak ada yang menggangguku dalam mebawa bola. Aku berpikir karena tidak ada yang menggangguku, aku bisa melakukan shooting dengan mudah. Akhirnya, walaupun masih jauh akupun melakukan shooting dengan persiapan yang cukup antara posisi tubuh, tangan, lengan, tenaga dan tingkat konstraksi otot. Aku sudah berlatih melakukan shooting dari berbagai macam jarak, jadi aku yakin bisa memasukkan bola walaupun dari jarak sejauh itu. Orang-orang pada berteriak kaget. Bolaku melambung mengarah ke ring lawan. Namun tiba-tiba sebelum sampai ke ring lawan bolaku ditangkap pemain lawan yang melompat. Lawan langsung balik melakukan serangan. Pemain lawan tersenyum seakan mengejek kebodohanku. Penonton banyak yang tertawa dan mengolok-olok kebodohanku. Akupun menyadari kesalahanku. Karena jarak lemparan yang jauh, sehingga kemungkinan lemparan bolaku dipotong di tengah jalan menjadi lebih mudah. Tapi aku harus segera kembali fokus ke permainan karena lawan sudah datang menyerang. Karena kejadian tadi begitu mengagetkan sehingga teman-teman tim SMA kami telat untuk kembali untuk bertahan (defense) sedangkan lawan sudah melakukan serangan balik (counter attack) dengan cepat. Aku yang masih di belakang menjadi penghadang satu-satunya. Akhirnya pembawa bola dari tim lawan berhadapan 1 lawan 1 denganku. Dengan kecepatan penglihatan, kecepatan gerak, kecepatan bereaksi dan kecepatan berpikir milikku serta pengalamanku dalam latih tanding melawan tim inti, aku memperkirakan kemungkinan arah gerakan lawan tersebut dengan memperhitungkan posisi teman-teman setimnya. Mungkin karena meremehkan aku sehingga bolanya bisa kurebut dengan mudah sebelum dia sempat mengoper ke teman setimnya. Setelah kurebut bolanya, sebelum lawan mendekatiku bola sudah kuoper ke teman setimku yang sedang bebas dari penjagaan dan akhirnya dia bisa memasukkan bola ke ring lawan dengan mudah. Suara tawa dan ejekan dari penonton sudah tidak terdengar diganti dengan suara sorakan dan tepuk tangan seakan memujiku.
Ketika aku berhadapan 1 lawan 1 dengan pembawa bola, beberapa kali aku bisa merebut bola atau memotong operan bola dan membalikkan serangan (counter attack) sehingga selisih skor semakin jauh. Tim lawan sepertinya sudah mulai menyadari sehingga pembawa bola cepat-cepat mengoper bola ketika aku mendekat. Ketika aku yang membawa bola, aku bisa melewati lawan yang menjagaku sendirian. Tim lawan sepertinya juga sudah mulai menyadari sehingga ketika aku membawa bola selain orang yang menghadangku, ada temannya yang membantu menutup arah gerakku. Akhirnya aku bilang ke Andi untuk tukar posisi. Waktu sudah hampir habis tapi perbedaan skor (nilai) masih terlalu jauh sehingga tim lawan sepertinya sudah mulai berkurang semangatnya. Di detik-detik akhir ketika waktu sudah hampir habis, setelah menyerang, tim lawan sudah tidak buru-buru ke belakang untuk bertahan (defense). Aku yang membawa bola dari belakang melihat kesempatan itu maka aku kembali berpikir untuk melakukan shooting dari jarak jauh. Akhirnya aku melakukan shooting dari jarak jauh. Tim lawan yang melihat bola melambung buru-buru lari ke belakang dan berusaha menangkap bola tersebut sebelum sampai ke ring namun tidak ada yang berhasil mengganggu lajunya bola, akhirnya bola masuk ke ring lawan. Tim lawan sudah tidak sempat lagi melakukan serangan karena waktu sudah habis. Akhirnya pertandingan selesai dengan kemenangan tim SMA kami.
Kami bersorak gembira. Teman-teman anggota klub bola basket SMA kami yang jadi penonton juga ikut mendekat dan berkumpul saling menyalami dan menyelamati kemenangan kami, termasuk Agus. Setelah itu acara seremonial (upacara) pemberian piala gelar juara pertandingan bola basket antar SMA sekota A yang hanya diikuti oleh tim SMA kami dan ditonton beberapa orang saja terutama anggota klub bola basket SMA kami. Tim dari SMA 8 dan para penonton lain sudah pulang. Mereka tidak ikut melihat acara seremonial. Setelah itu bapak guru pulang dan mempersilakan kami pulang ke rumah masing-masing seperti biasanya. Aku pun mau pulang tetapi ada yang usul anggota klub bola basket merayakan kemenangan dengan makan-makan bersama. Aku bilang aku tidak ikut.
“Iya tahu, kamu sudah ada yang menunggu kan?”, kata Andi menggodaku sambil memberi isyarat untuk melihat ke arah dekat pintu keluar. Ternyata ada Mawar berdiri di sana seakan menunggu seseorang. Aku pun pulang duluan tidak ikut teman-teman klub bola basket SMA-ku untuk merayakan kemenangan.
“Kukira kamu sudah pulang”, kataku ke Mawar ketika aku berjalan keluar melewati tempat dia berdiri.
“Aku menunggumu, aku mau pulang bareng kamu”, kata dia sambil berjalan di sisiku. Aku terpaksa melambatkan jalanku mengimbangi kecepatan berjalan Mawar.
Jalan dari keluar lapangan bola basket SMA 8 ke tempat angkutan umum agak jauh dan sudah agak sepi. Hanya terlihat beberapa murid SMA 8 yang mugkin baru pulang dari kegiatan ekstrakurikuler. Mawar mulai mengajak ngobrol (berbincang-bincang) tentang pertandingan tadi. Dia berbicara dengan semangat memuji permainanku dan mengolok-olok penonton yang awalnya menertawaiku. Aku merasa tidak enak membicarakan hal itu karena masih ada beberap murid SMA 8 di sekitar situ.
“Sssttt”, kataku ke Mawar memberinya kode ntuk berhenti bicara tentang pertandingan tadi.
“Hey cantik”, terdengar suara beberapa orang menggoda Mawar. Ternyata ada 4 orang cowok (pemuda) dengan seragam SMA 8 di pinggir jalan.
“Apaan sih?”, jawab Mawar dengan nada sinis. Sepertinya dia tidak suka disapa begitu.
“Sudah biarin aja, ayo cepat jalan”, bisikku ke Mawar sambil mempercepat jalanku.
“Hey! sombong banget sih”, kata salah satu dari mereka.
“Dari seragamnya mereka dari SMA 1 ya?”, kata yang lain.
“Iya. Jangan-jangan dia yang katanya tadi mempermalukan tim basket SMA kita?”, kata yang lain lagi.
“Iya, Arya ini yang tadi membuat tim basketmu kewalahan”, kata Mawar dengan nada mengejek. Aku menengok ke arah Mawar untuk mencegah dia ngomong begitu misalnya dengan menutup mulutnya tapi tidak sempat karena ternyata Mawar tertinggal di belakangku.
“Hey! apa kau bilang?”, kata mereka sambil berlari dan akhirnya mengepung kami. Aku langsung menarik tangan Mawar agar dia dekat denganku. Mawar tampak kaget dan takut.
“Maaf”, kataku singkat kepada para murid SMA 8 tersebut.
“Enak aja”, kata orang yang di depanku sambil mengarahkan pukulannya lurus ke arah mukaku. Aku tangkis pukulan tersebut ke arah kiri sambil kupegang pergelangan tangannya dan kutarik dengan tangan kiriku sehingga dia hilang keseimbangan lalu kudorong tubuhnya jatuh ke tanah dengan tangan kananku. Lalu kutarik tangan Mawar dan agak kudorong pelan tubuhnya (punggungnya) ke arah depan dimana sudah tidak ada orang yang menghadang sambil kubilang “Lari!”.
Melihat temannya kujatuhkan, 3 orang murid SMA 8 tersebut menyerang secara bersamaan. Serangan mereka sederhana dan bisa kutebak. Yang di sebelah kananku memukul ke arah wajah, yang di sebelah kiriku menendang ke arah perut, yang di belakangku aku tidak tahu. Aku memutuskan untuk bergerak agak memutar dan agak meloncat ke arah kanan sambil menyikut dengan tangan kanan ke arah dada orang yang di sebelah kananku sehingga tendangan dari samping kiri tidak mengenai aku dan serangan dari belakang yang ternyata berupa pukulan juga tidak mengenaiku. Sedangkan pukulan dari arah kanan kearah wajahku bisa kuhindarkan dengan menggerakkan kepalaku. Orang di sebelah kananku jatuh sambil kesakitan memegang dadanya. Aku pun meloncat lagi ke belakang sehingga sekarang keempat orang tersebut ada di depanku. Orang yang menyerangku pertama tadi sudah bangun.
3 orang yang masih berdiri tersebut langsung menyerangku lagi secara bersamaan, ada yang dengan pukulan ke arah wajah, ada yang dengan tendangan dan ada yang berusaha menubrukku seperti mendorong ke arah perutku untuk menjatuhkanku. Yang paling sulit dihindarkan adalah yang menubrukku sehingga aku putuskan jongkok sambil menendang ke arah kepala orang yang menubrukku sehingga pukulan ke arah wajahku terhindarkan sedangkan tendangan kutangkis dengan tangan kanan. Yang terkena tendanganku jatuh kesakitan sambil memegang kepalanya. 2 orang lainnya langsung menyerang lagi memanfaatkan posisiku yang belum siap karena agak jongkok. Akhirnya aku merebahkan diri dan menggunakan kedua kakiku untuk menendang perut mereka sampai mereka terjatuh. Aku pun berdiri. 4 orang tersebut berdiri dengan kesakitan. Aku pun pergi meninggalkan mereka tanpa bicara apapun dan mereka pun hanya diam saja dan tidak mengejarku.
“Kamu tidak apa-apa?”, tanya Mawar ketika melihatku datang mengejarnya.
“Tidak apa-apa. Tenang saja, mereka tidak mengejar lagi”, kataku kepada Mawar. Mawar tiba-tiba memegangi lengan kiriku dengan kedua tangannya kelihatan masih takut. Aku biarkan saja dia melakukan itu. Akhirnya dia melepaskan pegangannya ketika kami naik angkutan umum. Kami duduk berdampingan. Mawar duduk di sebelah kananku.
“Terima kasih telah menyelamatkanku”, kata Mawar. “Maaf, gara-gara omonganku kamu jadi harus berkelahi”, lanjutnya. “Aku sangat takut”, katanya sambil menunduk. Suaranya pelan dan bergetar seperti menangis. Badannya juga gemetar. Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk menghiburnya. Penumpang lain melihat kami. Akhirnya kuletakkan tangan kananku di atas tangan kirinya sambil bilang “Tidak apa-apa yang penting kita selamat”. Dia membalikkan telapak tangan kirinya dan mengenggam tangan kananku. Tangan kanannya memegang lengan tangan kananku. Aku jadi bingung apakah kutarik tangan kananku ataukah kubiarkan dia menggenggam dan memegang tangan kananku seperti itu. Akhirnya kubiarkan seperti itu tapi telapak tangan kananku tidak balas menggenggam telapak tangan kirinya. Mawar sudah terlihat tenang tidak gemetar lagi. Tapi dia masih menunduk. Dia kemudian menyandarkan kepalanya di bahuku. Penumpang lain melihat ke arah kami, tapi Mawar seakan tidak menyadarinya. Dia diam saja masih sambil menunduk.
“Kenapa dengan temanmu Nak?”, tanya seorang penumpang ibu-ibu.
“Kami diserang murid-murid SMA lain Bu”, jawabku. Entah Mawar mendengar atau tidak tapi dia diam saja.
“Kalian tidak apa-apa kan? Ada yang terluka?”, tanya ibu-ibu tersebut.
“Tidak Bu, kami berhasil melarikan diri”, jawabku.
“Syukurlah kalau tidak apa-apa. Mungkin temanmu tersebut masih kaget (shock). Biarkan dia istirahat seperti itu”, kata ibu-ibu tersebut. Mendengar perkataan ibu-ibu tersebut aku jadi tidak bingung lagi. Kubiarkan Mawar memegangi tanganku dan bersandar di bahuku.
“Rumah kalian dekat?”, tanya ibu-ibu itu lagi.
“Nggak Bu, Saya turun di daerah A sedangkan dia turun di daerah B”, jawabku.
“Oo, kalau begitu kamu juga turun di daerah B, kamu antar dulu temanmu sampai ke rumahnya, kasihan dia”, kata ibu-ibu tersebut menasehatiku.
Setelah sampai di daerah B Mawar melepaskan pegangan tangannya. Kemudian kami turun dari angkutan umum. Dia sadar akan keadaan sekitar, berarti dia tadi tidak tertidur, tapi aku masih belum paham kenapa dia diam saja selama di dalam angkutan umum tadi.
“Lewat sini”, kata Mawar menunjukkan arah. Aku pun berjalan di sampingnya.
“Itu rumahku sudah kelihatan, kamu tidak perlu mengantarku sampai depan rumah. Terima kasih sudah mengantarku”, kata Mawar.
“Sampai ketemu lagi di kelas”, kata Mawar sambil berjalan meninggalkanku yang hanya diam berdiri di tempat itu. Sampai di depan pintu pagar rumahnya, dia menoleh ke arahku dan melambaikan tangan sambil tersenyum. Akupun tersenyum balik. Melihat dia sudah tersenyum aku berkesimpulan bahwa dia baik-baik saja. Aku pun lalu berjalan kembali ke tempat pemberhentian angkutan umum untuk pulang ke rumah. Di rumah aku tidak menceritakan kepada ayah atau ibu tentang kejadian tersebut, karena ayah dan ibu sudah sering mengingatkanku bahwa aku tidak boleh berkelahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar