Malam itu aku terus memikirkan penjelasan ibu serta berusaha
memahami perasaanku dan juga memahami apa yang aku harapkan dari Bunga. Aku
juga memikirkan apa yang sebaiknya kulakukan untuk bertemu Bunga dan apa yang akan
kukatakan ketika berhasil bertemu Bunga.
Hari berikutnya ketika istirahat, aku pergi ke kelasnya Bunga untuk menemui Bunga. Berdasarkan pengalaman hari sebelumnya, aku tidak mau hanya menunggu Bunga di atas gedung karena belum tentu Bunga naik ke atas gedung. Belum sampai aku masuk ke kelasnya, aku sudah terlihat oleh Bunga. Bunga memberi isyarat ke aku agar jangan masuk ke kelasnya. Dia memberi isyarat dengan tangannya menunjuk ke atas gedung. Aku mengartikan bahwa dia mau bilang ke aku bahwa nanti saja bertemu sepulang sekolah di atas gedung. Sepulang sekolah aku naik ke atas gedung dan ternyata benar Bunga sudah berada di atas gedung menungguku.
“Kamu kangen aku ya?”, tanya Bunga menggodaku sambil
tersenyum. Sudah lama aku tidak melihat Bunga, sekarang bisa melihatnya tersenyum
padaku, hatiku jadi berdebar melihat senyumnya.
“Iya”, jawabku pendek sambil tersipu malu. Aku mau menanyakan
kepadanya kemana saja selama liburan tapi belum sampai terucap.
“Aku liburan keluar kota sekeluarga”, kata Bunga seakan tahu
pikiranku. “Kamu menelepon ke rumah ya? Atau jangan-jangan kamu juga mencari ke
rumah?”, tanya Bunga menebak yang telah kulakukan.
“Iya”, jawabku pendek. Bunga tidak langsung meyahutku seakan
menunggu aku berbicara lebih lanjut.
“Maaf aku gak bisa lama-lama karena aku harus segera les (cram school)”, kata Bunga setelah
melihatku hanya diam. “Jadi, apa yang ingin kamu katakan?”, tanya Bunga seakan
mendesakku untuk berbicara. “Jika tidak ada, aku mau segera berangkat les”, lanjut
Bunga.
Awalnya aku hanya ingin bersama Bunga untuk melepaskan
kangenku selama ini. Namun karena Bunga tergesa-gesa akan segera berangkat les,
aku jadi bingung. Aku berpikir jika tidak kuungkapkan sekarang, maka kapan lagi
akan ada kesempatan? Akhirnya aku memberanikan diri.
“A..aku cinta kamu”, kataku gugup.
“Aku tahu”, jawab Bunga pendek sambil tersenyum. Aku semakin
berdebar karena bingung apa maksud jawabannya tersebut.
“Apakah berarti kamu mau menjadi pacarku?”, tanyaku.
“Bukankah selama ini kita sudah pacaran?”, jawab Bunga masih
dengan tersenyum menggodaku karena melihat aku yang gugup. “Tanpa bilang cinta,
kita sudah jalan bareng berdua. Sudah berapa kali kita dibilang pacaran? Atau
jangan-jangan kamu ingin……”, katanya menggodaku sambil mendekat ke aku.
Aku bingung mau bilang apa lagi. Aku hanya memandangi dia.
Selain waktu di kolam renang, baru kali ini aku memandangi wajahnya dengan
seksama. Bunga terlihat cantik. Ucapannya sudah tidak kuperhatikan. Aku melihat
bibirnya yang bergerak begitu menggoda. Jantungku semakin berdegup kencang.
Akhirnya aku rangkul pinggangnya dengan tangan kananku dan
kutarik badannya ke arahku. Badannya kudekap erat dengan tangan kiriku di
punggungnya. Kucium bibirnya.
Bunga yang belum selesai berbicara, kelihatan kaget, namun
dia tidak menolak. Kemudian dia mencium balik. Kamipun berciuman. Matanya
terpejam. Akupun memejamkan mataku. Badannya yang menempel di badanku terasa
hangat. Aku juga merasakan empuknya dadanya yang menempel di dadaku. Kedua
tangannya yang awalnya di dadaku kemudian merangkul leherku. Tangan kiriku
mengelus rambutnya.
Waktu terasa berhenti. Untuk sesaat aku menikmati dan tidak
menghiraukan keadaan di sekitarku.
Tiba-tiba Bunga menghentikan ciumannya. Tangan kirinya mendorong
tangan kananku pelan dan melepaskan tangan kananku dari pinggangnya, sementara
tangan kanannya mendorong dadaku pelan menjauhkan tubuhnya dari tubuhku
sehingga tidak menempel lagi.
Aku membuka mataku dan kulihat wajahnya yang menunduk tersipu
tidak berani menatap mataku.
“Sudah…”, katanya pelan. Akupun hanya mengangguk mengiyakan.
Kamipun turun dari atas gedung dan kemudian keluar dari
halaman sekolah dengan berjalan bergandengan tangan. Bunga hanya diam. Aku juga
diam. Akhirnya kami berpisah dan menuju ke arah angkutan umum masing-masing.
“Kamu sudah bertemu Bunga ya?”, tanya ibu dengan tersenyum
ketika melihatku pulang. Mungkin ibu bisa menebak dari wajahku yang sedang
bahagia.
“Iya Bu”, jawabku pendek.
“Bagaimana?”, tanya ibu pendek ingin tahu cerita detilnya.
“Aku sudah menyatakan cintaku dan Bunga menerimanya, Bu”,
jawabku singkat sambil tersipu tanpa menceritakan bahwa aku mencium Bunga.
“Ingat penjelasan ayah dan ibu kemarin tentang mengontrol
perasaan dan mengatur harapan”, pesan ibu dengan serius. “Jadian (pacaran) memang
meredakan gejolak cintamu namun bukan berarti akhir dari masalah perasaan”,
lanjut ibu. “Karena menjalin hubungan dengan orang lain, justru akan semakin
banyak potensi permasalahan dengan perasaan. Jadi kamu harus pandai-pandai
menjaga perasaanmu maupun perasaan Bunga agar jangan sampai ada yang sakit
hati”, lanjut ibu mengakhiri nasehatnya.
“Iya Bu”, jawabku singkat seakan kurang memperhatikan peringatan
ibu, karena aku sedang bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar