Hari berikutnya sepulang sekolah, setelah bertemu di halaman sekolah kami pergi
berdua naik angkutan umum. Kami sepakati memilih angkutan umum yang arahnya bukan
ke arah rumahku maupun ke arah rumah Bunga. Sepanjang perjalanan kami berusaha
memperhatikan keadaan sekitar kota jika ada yang menarik. Bunga sudah membawa
peta kota kami dan menandai jalan yang telah kami lewati. Aku berusaha
menginagt-ingat dan mencatat hal-hal yang mungkin menarik untuk didatangi yang
kami lihat sepanjang perjalanan angkutan umum tersebut. Walaupun telah melihat
hal yang menarik, kami sepakati hari ini hanya untuk dicatat dulu, tidak
langsung berhenti dan turun dari angkutan umum. Setelah angkutan umum berhenti
diujung rutenya, kami berganti angkutan umum arah lain. Setelah mencoba
beberapa rute angkutan umum, akhirnya kami berpisah naik angkutan umum ke arah
rumah masing-masing karena hari sudah sore. Bunga berpesan agar tetap
memperhatikan sekitar, mungkin ada hal menarik di rute yang menuju rumah kami
masing-masing.
Hari berikutnya, kembali kami mencoba rute angkutan umum yang lain. Sambil
memperhatikan sekitar, kami mengobrol membahas beberapa hal yang menarik dari
hasil mengamati kemarin. Ada museum, ada perpustakaan kota, ada gedung-gedung
atau bangunan-bangunan dengan bentuk dan arsitektur menarik, ada taman-taman (gardens, parks) dan taman-taman bermain
(playgrounds), ada stadion dengan
komplek lapangan olahraga (sport center),
ada bangunan yang terlantar (abandoned
building), ada tempat rekreasi, ada pasar hewan, pasar bunga, pasar loak
(barang bekas) (marketplaces), ada
hutan kota dan lain sebagainya.
Hari itu, selain mencoba rute angkutan umum yang belum dicoba, kami juga
mencoba salah satu hal menarik yang sudah kami bahas yaitu ke bangunan yang
terlantar. Kami melihat disitu bisa dipakai permainan melewati rintangan. Setelah
turun dari angkutan umum dan mendekati bangunan tersebut, tanpa berbicara hanya
dengan saling menengok, seakan sudah sepakat, kamipun mulai berlari dan
melompat melewati rintangan dengan tujuan akhir bagian paling atas bangunan
tersebut. Aku dan Bunga tidak berlomba siapa yang lebih cepat. Kami hanya
menikmati permainan melewati rintangan. Kami berusaha memilih rintangan yang
lebih menantang dan lebih mengasyikkan untuk dilewati. Bunga masih dengan rok
seragam sekolahnya sehingga beberapa kali roknya tersingkap ketika Bunga
melompat. Aku sempat melihat celana dalamnya ketika Bunga lebih dulu dari aku.
Kami berhenti setelah sampai di bagian atas bangunan tersebut.
Kami duduk beristirahat di lantai dengan kaki menggantung di ujung (tepi)
bangunan, sambil menikmati pemandangan kota dari atas bangunan tersebut.
(Penyadur: AWAS INI ADALAH HAL BERBAHAYA YANG TIDAK BOLEH DITIRU)
“Hey, jangan duduk disitu, berbahaya”, teriak seseorang dari belakang kami.
Ketika kami menoleh, terlihat seorang pria (laki-laki) dengan pakaian yang
lusuh. Sepertinya dia adalah gelandangan yang tinggal di bangunan tersebut.
“Kalian murid SMA kan? Ngapain kesini? Disini dilarang masuk”, kata orang
tersebut seakan marah.
“Maaf”, jawab kami sambil berdiri bersiap untuk pergi.
“Kalian punya uang kan, serahkan padaku”, kata orang tersebut meminta
sambil mendekati kami.
Bunga menarik tanganku mengajak lari meninggalkan dia. Melihat dia tidak
mengikuti kami, Bunga mengubah cara larinya menjadi lari sambil melewati
rintangan. Akupun mengubah cara lariku manjadi lari dengan melewati rintangan
juga. Sesampainya di bawah kami pun berhenti dan kemudian berjalan biasa keluar
dari bangunan tersebut.
“Besok kita bawa baju ganti biar tidak kelihatan sebagai murid SMA”, kata
Bunga. “Selain itu agar kamu gak bisa mengitip celana dalamku lagi”, kata Bunga
melirikku sambil tersenyum menggodaku.
“Aku gak mengintip. Kan terlihat dengan sendirinya”, jawabku mengelak.
“Oiya, beberapa tempat yang akan kita kunjungi mungkin harus bayar. Kamu
punya uang lebih kan?”, tanya Bunga.
“Iya. Aku jarang jajan sehingga sisa uang sakuku kukumpulkan”, jawabku.
Hari-hari berikutnya setiap pulang sekolah setelah bertemu di halaman
sekolah, aku dan Bunga menaiki angkutan umum berkeliling kota. Kami berganti
baju dulu sebelum bertemu di halaman sekolah. Kami juga membawa uang berlebih
untuk jaga-jaga. Kami mencoba semua rute angkutan umum yang ada. Kami mencoba
melewati semua jalan utama (jalan besar) yang ada. Jika ada jalan yang tidak
dilewati angkutan umum dan kami kira ada hal yang menarik, kami coba
melewatinya dengan berjalan kaki.
“Untuk apa kita ke stadion dan komplek lapangan olahraga?”, tanyaku ke
Bunga tentang pilihannya memasukkan stadion dan komplek lapangan olahraga
sebagai tempat menarik yang akan kami kunjungi. “Kita kan sudah mencoba
berbagai klub olahraga di sekolah kita”, lanjutku. “Lagipula disana kita hanya
menonton, gak mungkin bisa ikut bermain”, lanjutku.
“Pingin tahu aja, kalo ternyata tidak ada hal menarik ya kita pergi”,
jawab Bunga tanpa beban. “Lagipula walaupun sama-sama klub olahraga, tentu beda
levelnya (kualitas, kemampuan, serunya pertandingan) dengan klub SMA”, lanjut
Bunga. “Selain itu, mungkin disana ada jenis olahraga lain yang belum ada di
klub olahraga SMA kita”, lanjut Bunga.
Untuk memastikan ada hal yang menarik di stadion dan komplek lapangan
olahraga maka kami hampir setiap hari melewati sana. Namun tidak setiap hari di
stadion dan komplek lapangan olahraga ada latihan yang bisa ditonton. Bahkan
jika ada pertandingan resmi, untuk bisa masuk dan menonton harus bayar.
Akhirnya kami lebih sering kecewa tidak menemukan hal menarik di stadion dan
komplek lapangan olahraga.
Untuk gedung dan bangunan dengan arsitektur dan bentuk yang menarik, yang
bisa kami lakukan hanyalah melihat-lihat. Begitu juga taman-taman (gardens, parks), sebenarnya bisa dilihat
tanpa harus turun dari angkutan umum. Namun kami tetap turun dari angkutan umum
dan melihat dari dekat. Kami bisa lebih menikmati keindahan taman dan
bangunan-bangunan tersebut dari dekat dengan berjalan kaki. Saat berjalan
berdua atau ketika duduk berdua di bangku taman seperti itulah kami banyak
mengobrol.
Taman bermain (playgrounds) biasanya
banyak dipakai oleh anak-anak karena kebanyakan permainannya adalah permainan
untuk anak-anak seperti ayunan (sling,
swing), perosotan (slide), jungkat-jungkit (seesaw), balok titian (balance beams), mangkok putar (swivel chairs), besi panjat (monkey bars, climbing frame), bak pasir (sand
box), dan sebagainya. Walaupun mainan untuk anak-anak, aku dan Bunga
mencoba memainkan dengan cara-cara yang tidak biasa, cenderung akrobatik dan
berbahaya. Misalnya bermain ayunan, jungkat-jungkit dan mangkok putar dengan
berdiri atau dengan kecepatan yang lebih cepat. Kami juga bermain besi panjat
dengan berbagai macam gerakan gaya dan keseimbangan tubuh. Namun setelah merasa
agak capek, kamipun memainkan dengan cara biasa (normal) yang santai sambil
mengobrol.
Ketika kami sedang main ayunan dengan santai, tiba-tiba datang anak-anak
yang ingin bermain. Kamipun memberi kesempatan kepada anak-anak itu untuk bermain.
Mereka saling berebut ingin lebih dulu memakai mainan. Bungapun melerai
(mencegah) anak-anak yang berebut dan mengatur mereka agar bisa bermain bersama
dan bergantian tanpa harus berebut. Aku memperhatikan bagaimana Bunga mengatur
anak-anak tersebut. Dia dapat menjelaskan dalam bahasa yang mudah dipahami
anak-anak dan keputusannya dapat diterima oleh anak-anak tanpa harus dengan
marah-marah. Dia berbicara dengan nada yang lembut dan wajah tersenyum namun
tegas. Mainan yang paling banyak diantri (ditunggu) untuk dimainkan adalah
ayunan. Namun Bunga bisa menunjukkan bahwa mainan-mainan lainnya juga menarik, sehingga
akhirnya semua mainan terpakai. Bunga terlihat bagai seorang ibu yang
menyanyangi anak-anaknya.
“Kakak itu bisa sulap lho”, kata Bunga pada beberapa anak yang kelihatan
mulai bosan menunggu mainan yang dia inginkan, sambil menunjuk ke arahku.
Akupun akhirnya jadi terlibat. Aku ambil beberapa batu kecil dan kemudian
melempar dan menangkap batu-batu tersebut secara bergantian (juggling). Dengan kecepatan tanganku,
aku juga memainkan sulap sederhana yaitu seakan bisa menghilangkan koin (uang
logam) dan mengeluarkannya dari tempat lain. Anak-anak terkagum-kagum,
sampai-sampai yang sedang bermainpun berhenti ikut menonton sulap sederhanaku.
“Kakak pacarnya kakak yang gagah itu ya?”, tanya seorang anak perempuan
kepada Bunga yang terdengar olehku.
“Hush, kamu masih kecil kok sudah tahu pacar”, jawab Bunga sambil
tersenyum. “Sudah ya, kakak pulang duluan”, kata Bunga berpamitan pada mereka
sambil mengajakku pergi.
“Kamu pintar dengan anak-anak (good
with kids..pintar menangani anak-anak) ya”, pujiku ke Bunga.
“Aku suka anak-anak”, jawab Bunga. “Aku gak punya adik, jadi anak kecil
kuanggap seperti adikku sendiri”, kata Bunga.
Ternyata selain suka anak-anak, Bunga juga suka binatang. Dia mengajakku
ke pasar hewan, melihat berbagai macam hewan peliharaan yang dijual disana. Ada
ikan, burung, hamster, marmut, kelinci, kucing, anjing dan sebagainya. Dia
terlihat merasa gemas terhadap kelucuan hewan-hewan tersebut. Aku jadi melihat
sifat kekanak-kanakan Bunga.
“Hush, disini bukan tempat pacaran”, usir seorang penjual dengan kesal
ketika Bunga akan memegang salah satu hewan dagangannya. Mungkin dia tahu bahwa
kami hanya melihat-lihat dan tidak ada niat untuk membeli.
Selain sebagai tempat berjualan, di pasar hewan juga ada tempat
berkumpulnya komunitas penyuka binatang tertentu. Misalnya komunitas penyuka
reptil, anjing, kucing dan sebagainya. Jika sedang ada kegiatan, selain kami
bisa menonton, kadang kami diberi kesempatan untuk ikut memegang atau mengelus
hewan-hewan tersebut.
“Kamu suka hewan peliharaan*) ya?”, tanyaku ke Bunga.
“Aku kan anak tunggal, jadi di rumah temanku hanya hewan peliharaanku*)”,
jawab Bunga.
(penyadur: jenis hewan peliharaan
Bunga tidak disebutkan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar