Sudah beberapa hari aku mencari Bunga di atas gedung tapi tidak ketemu.
Lebih seringnya kutemukan Agus dan teman-temannya yang ada di atas gedung.
Bahkan beberapa kali aku tidak jadi naik karena sudah terdengar suara ramai
mereka di atas gedung.
Aku tidak berusaha mencari Bunga di jam istirahat ke kelasnya karena tidak
ingin mengganggu dia dengan teman-teman ceweknya dan tidak ingin dilihatin
(dipandangin) murid-murid kelas 3 seperti waktu itu. Aku berusaha mencari Bunga
karena terakhir kami berpisah Bunga seperti kesal kepadaku. Aku ingin meminta
maaf. Aku tidak ingin pertemanan kami berakhir hanya karena kejadian waktu itu.
Tapi aku belum kepikiran jika sudah bertemu Bunga, aku mau mengajak dia bermain
apa yang kira-kira menarik dan seru bagi kami berdua.
Hari itu aku kembali mencari Bunga ke atas gedung. Sebelum naik sudah
terdengar suara ramai di atas gedung. Aku hampir mengurungkan niatku untuk
naik, namun kemudian terdengar suara seperti orang bertengkar. Aku khawatir
Bunga di atas gedung sedang bertengkar dengan Agus dan teman-temannya. Aku pun
buru-buru naik.
Terlihat Agus dan teman-temannya sedang bertengkar dengan beberapa murid
lain. Sepertinya mereka bertengkar memperebutkan area atas gedung. Murid-murid
lain tersebut sepertinya sudah lebih dulu naik ke atas gedung namun mereka
diusir Agus dan teman-temannya yang mau menguasai pemakaian atas gedung
sehingga akhirnya terjadi pertengkaran. Aku lihat sekeliling tidak ada Bunga
sehingga aku berniat turun lagi. Namun kemudian mereka akhirnya berkelahi. Aku
akhirnya tidak jadi turun karena ingin melihat perkelahian mereka.
Jumlah murid kelompok Agus lebih sedikit dibanding jumlah murid kelompok
lawannya sehingga Agus dan beberapa temannya menghadapi 2 orang dari kelompok
lawannya, sedangkan sisanya berhadapan 1 lawan 1. Agus dan beberapa temannya
terlihat menggunakan gerakan silat untuk melawan murid-murid kelompok lawannya.
Sedangkan murid-murid dari kelompok lawannya sepertinya tidak ada yang bisa
silat. Agus dengan mudah berhasil mengalahkan dan menjatuhkan lawannya dan
segera membantu temannya yang belum berhasil mengalahkan lawannya. Beberapa
temannya Agus yang bisa silat juga segera dapat mengalahkan lawannya. Setelah
mengalahkan lawannya, mereka juga segera membantu temannya yang kalah atau
kewalahan menghadapi lawannya. Dalam waktu singkat murid-murid kelompok
lawannya Agus sudah pada berjatuhan di lantai karena kalah. Tapi ternyata itu
tidak menghentikan AGus dan teman-temannya menyerang mereka. Agus dan
teman-temannya masih menghajar lawannya yang sudah kesulitan untuk melawan
tersebut.
“Hentikan!”, teriakku. “Mereka kan sudah kalah, kenapa harus disiksa?”,
tanyaku.
Mereka seperti kaget menyadari keberadaanku. Agus langsung menjawab.
“Tidak usah ikut campur”, kata Agus dengan nada kesal. “Mau melawan kami
semua?”, lanjut Agus seakan mengancam.
“Inikah hasilnya setelah ditinggal lulus oleh pemimpin geng SMA kita?”,
tanyaku. Sebagian dari mereka seakan terkejut ketika aku sebut tentang pemimpin
geng. “Padahal aku berharap kamu bisa menggantikan peran menjaga kedamaian SMA
kita”, kataku ke Agus. “Tapi bagaimana mau dihormati (respected) jika kamu menindas yang lebih lemah?”, tanyaku
menyindirnya. “Ilmu silat bukan untuk menindas orang lain”, kataku.
“Gak usah sok menasehati”, kata Agus. “Serang”, kata Agus mengaba-aba
teman-temannya untuk mengeroyok aku.
“Tunggu”, kataku cepat untuk mencegah mereka. Merekapun berhenti, mungkin
karena ragu-ragu menyerangku karena sudah pernah lihat kehebatanku melawan
pemimpin geng mereka yang lebih jago silat dulu. Mungkin juga karena dalam hati
kecil mereka setuju dengan perkataanku tadi. “Aku tidak ingin berkelahi, aku
tidak ingin ikut campur urusan kalian, aku cuma mau menyampaikan itu tadi”,
kataku sambil mundur menuju tangga dan pergi meninggalkan mereka. Mereka pun tidak
mengejarku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar