Suatu hari setelah selesai dari mengikuti kegiatan klub di sekolah aku dan
Bunga dihadang beberapa murid. Setelah kuperhatikan diantara mereka adalah kakak
kelas-kakak kelas yang pernah merokok di atas gedung yang pernah kukalahkan.
Aku menjadi waspada dan bersiap untuk bertarung. Mereka mengatakan bahwa mereka
tidak ingin berkelahi. Mereka hanya mau mengajak kami menemui pemimpin geng
mereka di atas gedung. Karena aku ingin menyelesaikan permasalahanku tersebut
jadi aku mau mengikuti mereka.
Kami kemudian menuju ke atas gedung. Di atas gedung sudah menunggu seorang
kakak kelas yang disebut pemimpin geng SMA kami. Sepertinya dia murid kelas 3.
Dia menyuruh selain aku dan dia untuk turun (pergi) dari atas gedung karena dia
ingin berbicara berdua denganku saja. Kakak kelas- kakak kelas yang tadi
mengawal kami beranjak pergi dari atas gedung. Bunga juga mau beranjak pergi
tapi aku melarangnya. Aku bilang ke orang tersebut bahwa Bunga tetap disitu
menemaniku.
“Baiklah”, jawab pemimpin geng tersebut.
“Apa benar kamu mengalahkan 4 anak buahku di sini dengan gerakan silat?”,
tanyanya lebih lanjut.
“Ya”, jawabku singkat.
“Ayo bertarung satu lawan satu denganku”, katanya sambil memasang
kuda-kuda.
“Apa maksudmu mengajak bertarung? Kamu ingin membalaskan dendam anak
buahmu? Belum tentu Arya yang bersalah. Mungkin saja anak buahmu yang
bersalah”, kata Bunga membelaku.
“Aku tahu”, jawabnya singkat. “Aku ingin mengetahui kemampuan silatmu
sebelum aku menjelaskan maksudku yang sebenarnya”, lanjutnya.
Aku memberi isyarat kepada Bunga untuk tidak membantahnya lagi karena aku
menerima tantangannya untuk bertarung.
Sebagaimana ketika bertarung dengan temannya Agus maupun dengan pelatih
ekskul silat, aku bersiap dengan kuda-kuda umum. Setelah melihatku bersiap, dia
lalu menyerangku dengan cepat, aku hampir saja tidak bisa menghindarinya.
Walaupun bisa menghindar, serangan berikutnya tidak bisa kuhindari sehingga
harus kutangkis. Gerakan dia selanjutnya sepertinya telah memperhitungkan
tangkisanku tersebut sehingga serangannya mengarah kedaerah yang tidak bisa
kutangkis lagi. Hampir saja aku terkena serangan tersebut kalau aku tidak
menghindar dengan agak melompat ke belakang. Namun dia sudah menyusul lagi
dengan serangan yang seakan mengejarku. Aku merasa gerakanku tidak teratur. Aku
hanya berusaha menghindar atau menangkis sebisaku. Berbeda dengan dia yang
gerakannya seakan teratur dan telah memperhitungkan gerakan menghindar atau
menangkisku. Dengan kecepatan penglihatan dan reaksiku sampai dengan beberapa
saat aku masih bisa menghindar dan menangkis, namun tidak bisa membalas
menyerang sama sekali. Tidak seperti ketika bertarung dengan temannya Agus
maupun dengan pelatih ekskul silat dimana aku masih punya kesempatan untuk
menyerang dan menemukan ritmeku sehingga bisa mengeluarkan jurusku. Akhirnya
aku terkena serangannya dan terdorong ke belakang.
“Keluarkan jurusmu. Aku ingin tahu kemampuanmu”, katanya sambil menghentikan
serangannya ketika berhasil mengenaiku.
Sambil menahan sakitku, aku lalu membuat kuda-kuda untuk persiapan jurusku
sekaligus mengatur napasku. Melihat aku sudah memasang kuda-kuda, dia kembali
menyerang. Kuda-kuda yang kupakai adalah kuda-kuda dari jurus yang sedang
kupakai untuk menghadapi tantangan 10 menit. Tiap hari aku melakukan jurus ini
menghadapi ayah sehingga aku sangat lancar dan cepat dalam setiap gerakannya.
Bagaikan refleks, serangan yang datang dapat kutangkis dan segera kususul
dengan balas menyerang. Dia sepertinya juga sangat menguasai jurusnya sehingga
seranganku tersebut dapat dia tangkis dan dia kembali menyerang. Akhirnya
pertarungannya adalah pertarungan adu jurus. Kami seakan saling bergantian
dalam bertahan dan menyerang. Setelah beberapa menit berlalu akhirnya
seranganku ada yang mengenai dia sehingga dia terdorong ke belakang namun tidak
sampai jatuh.
“Cukup”, kata dia menghentikan pertarungan. “Aku sudah mengetahui
kemampuanmu”, lanjutnya.
“Baiklah, sekarang jelaskan apa maumu”, kataku padanya.
Dia lalu menjelaskan bahwa di SMA kami ada murid-murid yang nakal/berandalan
yaitu murid-murid yang sering melanggar aturan sekolah, suka menjahili (mem-bully) murid lain dan suka berkelahi.
Jika ketahuan pihak sekolah tentu akan dihukum, tapi seringkali tindakan mereka
(yang melanggar aturan) tidak ketahuan oleh pihak sekolah. Murid-murid seperti
itu ada juga yang membuat kelompok yang biasa disebut geng (gang). Alasan atau
latar belakang terbentuknya geng bisa berbagai macam.
Dia lalu menjelaskan awal mula dia terlibat dalam geng. Awalnya dia tidak
terlibat dalam geng. Namun dengan kemampuan silatnya, dia sering berkelahi dan
mengalahkan murid-murid nakal yang mengganggunya atau teman dia. Akhirnya
banyak murid yang punya masalah dengan murid lain yang minta bantuan dia. Awalnya
hanya murid-murid yang memang korban kejahilan murid lain yang minta bantuan
dia. Namun selanjutnya murid-murid yang kalah berkelahi bukan karena dijahili
juga minta bantuan dia. Akhirnya dia harus menyelesaiakan perselisihan mereka
dan mendamaikan mereka. Dia menyelesaiakan perselisihan antar murid-murid di
SMA kami biasanya dengan ancaman bahwa siapa yang memulai perkelahian di SMA
ini akan berurusan dengan dia. Semenjak itu ada beberapa murid terutama
murid-murid yang suka berkelahi yang mengikuti dia dan terbentuklah geng. Masih
banyak murid-murid lain yang suka berkelahi dan punya geng sendiri namun tidak
berani menjahili sesama murid SMA kami karena takut berurusan dengan dia.
Akhirnya dia dan gengnya seakan menjadi penjaga keamanan di SMA kami. Jika ada
murid yang berkelahi dengan murid lain dan melaporkan ke dia atau gengnya maka
dia atau gengnya akan turun tangan untuk menyelesaikan masalahnya.
“Aku sudah tahu itu. Untuk apa kamu ceritakan pada kami?”, kata Bunga
menyela penjelasannya.
“Baiklah kalau begitu. Langsung saja. Aku ingin kamu menggantikanku
menjaga SMA kita”, katanya kepadaku. Aku hanya diam masih mencoba memahami.
Bunga memandangku seakan juga menunggu jawabanku.
“Aku tahu bahwa kamu orang yang tepat. Kemampuan silatmu tinggi namun
tidak kamu pamerkan. Buktinya aku baru tahu sekarang”, kata dia.
Dia lalu menjelaskan bahwa dia sudah kelas 3 dan sekarang sudah hampir
ujian akhir. Sebentar lagi dia akan lulus dan meninggalkan SMA ini. Dia
khawatir setelah dia lulus maka kedamaian di SMA kami jadi tidak terjaga. Geng-geng
atau murid-murid nakal yang selama ini berselisih akan kembali berkelahi.
Dia juga menjelaskan bahwa yang dia maksud bukanlah agar aku menjadi
pemimpin gengnya. Menurut dia, untuk menjadi pemimpin gengnya harus
diakui/disegani oleh anggota geng. Bukan dengan penunjukkan dari pemimpin
sebelumnya. Yang dia inginkan adalah agar aku melakukan seperti yang dulu dia
lakukan yaitu membela murid-murid yang dijahili dan menyelesaikan/mendamaikan
permasalahan perkelahian antar murid. Karena murid-murid yang berkelahi
biasanya tidak akan melaporkan perkelahian mereka ke pihak sekolah.
“Aku tidak mau”, jawabku memotong penjelasannya.
“Kenapa? Bukankah kita belajar silat untuk membela diri dan membela orang
lain?”, tanya pemimpin geng tersebut.
“Guruku melarangku berkelahi, namun jika terpaksa berkelahi, guruku
berpesan sebisa mungkin aku tidak memakai jurus silat”, jawabku.
“Jika ada murid yang berkelahi, biarlah mereka selesaikan sendiri, atau
biar pihak sekolah yang turun tangan”, lanjutku.
“Lagipula kemarin (dulu/beberapa waktu yang lalu) kalian tidak membantuku
ketika aku berkelahi dengan Agus”, lanjutku.
“Baiklah”, katanya sambil bersiap seperti mau pergi.
“Kalau boleh tahu kamu belajar silat dari perguruan* mana?”, tanyanya. Aku
hanya diam saja tidak menjawab.
“Jangan-jangan kamu belajar silat bukan dari perguruan ya? Jangan-jangan
kamu belajar silat aliran hitam ya?”, tanya pemimpin geng tersebut. Aku hanya
diam.
(*penyadur: istilah perguruan (school) adalah untuk
menjelaskan tempat belajar silat, jadi mirip dengan istilah aliran. Tapi bisa
juga merujuk kepada tempat belajar silat yang berbentuk seperti sekolah. Jadi
dilihat dari konteks kalimatnya, perguruan bisa diartikan aliran bisa diartikan
sekolah/tempat belajar silat.)
Pemimpin geng tersebut sudah akan turun dari atas gedung, tiba-tiba Bunga
berkata.
“Biarkan kami memakai atas gedung ini sepulang sekolah, kalian kelas 3 kan
bisa memakai atas gedung ini ketika jam istirahat”, kata Bunga.
“Bukan aku yang memutuskan. Ini kan tempat umum. Akan kubilangin anggota
gengku agar tidak mengganggu kalian”, jawabnya sambil pergi meninggalkan kami
berdua.
Setelah pemimpin geng tersebut pergi aku langsung mengajukan banyak
pertanyaan pada Bunga.
“Kamu tahu tentang geng tersebut, kenapa kamu dulu tidak cerita sebelum
aku berduel?”, tanyaku.
“Apa itu aliran hitam? Apakah yang belajar silat bukan dari perguruan
disebut aliran hitam? Sepertinya kamu juga bukan dari perguruan, berarti kamu
juga aliran hitam ya?”, tanyaku lagi.
“Aku juga kurang paham. Tanya aja ke ayahmu”, jawab Bunga.
“Kalau tentang geng tadi, aku tidak cerita karena belum tahu dengan pasti.
Aku cuma tahu dari cerita orang lain. Aku belum pernah berurusan secara
langsung. Lagipula apakah kamu mau urusanmu dengan Agus diselesaikan orang
lain?”, jawab Bunga menjelaskan. Benar juga kata Bunga. Jika aku tahu tentang
geng tersebut aku juga tidak mau mereka ikut campur permasalahanku dengan Agus
dan teman-temannya.
“Ceritakan bagaimana kamu menolongku waktu di sirkus”, pintaku ke Bunga.
“Aku hanya berteriak ‘hey’, mereka langsung pergi. Setelah itu aku minta
bantuan orang sirkus yang membawamu ke tendanya. Selanjutnya kamu sudah tahu
kan?”, jawab Bunga. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
“Ayo pulang sudah sore”, kata Bunga sambil beranjak pergi. Akupun
mengikutinya.
“Karena kita sudah bisa memakai atas gedung lagi, ajari aku jurusmu ya”,
pintaku ke Bunga.
“Untuk apa? Menurutku latihan 1 jurusmu sudah bagus. Buktinya tadi sudah
berhasil mengenai lawan lebih dulu”, jawab Bunga.
“Untuk menambah pengetahuan”, jawabku.
“Selesaikan dulu tantangan 10 menit, jika sudah, ayahmu pasti sudah menyiapkan
latihan berikutnya”, kata Bunga. Aku jadi kepikiran dengan perkataan Bunga
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar