Hari itu adalah
hari pertarungan yang telah dijanjikan.
Di pagi hari
tidak ada latih tanding dengan ayah. Kami hanya berlatih gerakan-gerakan silat
untuk menjaga kebugaran tubuh setelah bangun tidur. Ayah menyemangati aku
sebelum duelku nanti siang dan berpesan beberapa hal. Ketika istirahat aku di
dalam kelas saja menenangkan pikiran dan mental agar nanti bisa fokus dalam
pertarungan serta merenungi pesan ayah.
Sepulang
sekolah aku tidak langsung berangkat menuju tempat yang ditentukan tetapi
menunggu agak sepi dulu. Ketika aku akan berangkat dan sudah berjalan di
halaman sekolah, tiba-tiba Bunga datang dan berjalan di sampingku. Tidak
seperti Mawar, Bunga bisa mengimbangi kecepatan berjalanku. Kami berangkat
bersama ke tempat yang telah ditentukan. Tempat tersebut memang sepi. Aku
melihat ke sekeliling untuk memastikan tidak ada orang lain yang akan melihat
kami. Di situ sudah ada Agus dan teman-temannya. Yang paling depan adalah teman
Agus yang telah mengalahkanku di sirkus dulu. Sepertinya dia lah pemimpin geng
(kelompok) Agus dan teman-temannya tersebut. Dia yang akan melawanku dalam duel
kali ini, sebagaimana yang kuharapkan.
Sebelum mulai
duel aku mencoba bertanya terlebih dahulu kepada mereka apakah mereka paham apa
itu duel dan akibatnya (konsekuensinya). Teman Agus menjawab bahwa mereka sudah
tahu sehingga tidak perlu basa-basi. Dia langsung memasang (bersiap dengan)
kuda-kuda (stance). Kuda-kuda yang
dia pakai berbeda dengan kuda-kuda yang dia pakai waktu bertarung denganku di
sirkus dulu. Berarti jurus yang akan dia pakai berbeda denga jurus yang dulu
awalnya dia pakai melawanku. Mungkin kuda-kuda tersebut adalah kuda-kuda jurus
yang berhasil mengalahkanku dulu. Atau mungkin itu adalah kuda-kuda jurus yang
lain lagi.
Aku memakai
kuda-kuda yang umum karena aku bermaksud bertahan dulu tidak langsung
menyerangnya. Aku amati tinggi tubuhnya, besar tubuhnya, panjang jangkauan
tangan dan kakinya. Dia lebih tinggi, lebih berat dan jangkauan tangan dan
kakinya lebih panjang dari pada aku. Aku telah dilatih ayah untuk bisa
memperkirakan secara cepat ukuran-ukuran seperti jumlah, jarak, panjang, dan
berat suatu benda hanya dengan melihat. Aku juga mengamati kuda-kudanya dan
memperkirakan kemungkinan-kemungkinan gerakan dari posisi kuda-kuda seperti
itu.
Setelah
beberapa saat saling mengamati, temannya Agus menyerangku. Aku berhasil
menghindar karena serangannya sesuai dengan yang kuperkirakan dari hasil
pengamatanku tadi. Tetapi ternyata serangan tersebut dilanjukan dengan serangan
lain. Aku terus berusaha menghindar sambil masih mengamati gerakan-gerakan
lawanku tersebut. Sebagaimana yang kuingat waktu pertarungan di sirkus dulu,
serangan temannya Agus tersebut sepertinya berbahaya. Walaupun jurusnya
sepertinya sulit dan gerakannya tidak mudah ditebak tetapi aku masih bisa
menghindar. Aku juga tidak kesulitan menjaga dan mengokohkan keseimbanganku
ketika menghindar, tidak seperti ketika melawan Bunga.
Jurus yang berbahaya atau mematikan adalah jurus yang
serangan-serangannya bisa menimbulkan kematian atau cacat tubuh. Ilmu silat
adalah ilmu untuk bertarung merobohkan lawan sehingga pada dasarnya semua jurus
adalah jurus yang berbahaya atau mematikan. Tetapi dengan perkembangan jaman
dimana ilmu silat sudah menjadi olahraga sehingga diterapkan aturan tidak boleh
menyerang bagian-bagian tertentu dari tubuh maka berkembang jurus-jurus yang
tidak berbahaya. Selain itu ada juga jurus yang diciptakan khusus untuk membela
diri sehingga serangannya hanya untuk menyakiti lawan atau merobohkan lawan
tetapi tidak sampai membunuhnya. (penyadur:
mungkin karena inilah maka disebut beladiri atau self defence). Ada juga
jurus yang berbahaya bagi pemakainya karena tingkat kesulitan jurus sehingga
jika salah gerakan bisa menimbulkan cedera pada pemakainya.
Karena aku
hanya menghindar terus, temannya Agus tersebut jadi menguasai ritme pertarungan
sehingga lama kelamaan serangannya menjadi semakin sulit untuk kuhindari. Aku
juga jadi tidak sempat mengamati gerakan-gerakannya karena berkonsentrasi menghindari
serangannya. Akhirnya aku harus menangkis serangannya karena tidak sempat
kuhindari. Dari menangkis serangannya tersebut aku mengetahui besarnya kekuatan
serangannya seperti yang telah kuperkirakan. Akupun mulai balas menyerang agar
ritme pertarungan tidak sepenuhnya dia kuasai. Aku menyerang dengan menggunakan
jurus yang sulit tetapi dia berhasil menghindar. Ritme pertarungan menjadi ritme
pertarungan adu jurus. Seranganku berhasil dia hindari atau dia tangkis dan
begitu juga sebaliknya.
Setelah
beberapa saat akhirnya seranganku ada yang kena, tetapi dia seperti tidak
kesakitan dan masih bisa mempertahankan keseimbangannya sehingga masih bisa
menyerang balik dan melanjutkan pertarungan. Aku beberapa kali berhasil
mengenainya tetapi lagi-lagi dia seperti tidak kesakitan dan masih bisa
mempertahankan keseimbangan dan meneruskan pertarungan. Sampai akhirnya ketika
aku menyerang dia tidak berusaha menghindar atau menangkis tetapi disaat yang
sama juga melancarkan serangan. Aku tidak menyangka dia mengincar pertahananku yang terbuka saat aku menyerang dengan tidak
menghiraukan pertahanannya sendiri. Walaupun secara penglihatan dan
pikiran aku sempat tahu hal tersebut, tapi aku tidak bisa menghindar
maupun menangkis serangan karena tubuhku sudah terlanjur
bergerak sesuai gerakan jurusku. Sehingga pada saat aku
berhasil menyerangnya aku juga terkena serangannya berupa pukulan di rusuk
kiriku.
Aku berteriak
kesakitan dan hampir terjatuh. Sambil menahan rasa sakit aku langsung
mengokohkan keseimbanganku dan berhasil menghindari serangan-serangan
berikutnya. Bunga berteriak padaku agar aku menyerah saja karena sudah
kesakitan. Sambil terus menghindari serangannya aku berpikir bagaimana cara
mengalahkannya. Karena jurus pukulan dan tendangan sepertinya tidak berhasil
merobohkannya akhirnya aku memutuskan mengubah jurusku.
Setelah
menunggu beberapa saat akhirnya aku dapat menangkap tangan kanannya ketika dia
menyerang dengan pukulan. Tangan kanannya kutangkap dengan kedua tanganku dan
kupelintir sehingga terbelenggu dan tidak bisa dia gerakkan. Dia mencoba
memukulku dengan tangan kiri tetapi berhasil kuhindari dengan bergerak ke
samping kanannya sambil terus memegangi tangan kanannya. Dia berusaha
menyerangku dengan kakinya tetapi bisa kuhindari dengan bergerak ke belakangnya
dan kesempatan itu kugunakan untuk menjegal dan merobohkannya dari belakang.
Dia jatuh tersungkur ke depan dengan lututku menindih punggungnya dan kedua
tanganku masih memelintir tangan kanannya. Dia tidak bisa bergerak hanya mengerang
seperti kesakitan.
“Kamu menyerah
tidak?”, tanyaku. Dia tidak menjawab hanya mengerang.
Agus dan
teman-temannya yang lain bersiap seperti mau menyerangku. Posisiku yang sedang
tidak bisa bergerak karena sedang menindihnya sangat mudah untuk diserang.
Tetapi Bunga sudah berada di belakangku dan menghadang Agus dan teman-temannya.
“(jika) Mereka
menyerangku, (akan) kupatahkan tanganmu”, kataku padanya.
“Jangan”,
jawabnya berteriak. Agus dan teman-temannya yang lain diam berdiri tidak
menyerang.
“Menyerah?”,
tanyaku.
“Iya”, jawabnya
singkat.
Karena dia
sudah menyerah, sebelum kulepaskan, kesempatan tersebut kugunakan untuk
menjelaskan padanya apa yang dipesan oleh ayahku.
“Menyakiti
orang konsekuensinya (akibatnya) berurusan dengan polisi. Bisa ditangkap dan
dihukum. Jika yang disakiti dendam, bisa membalas dengan lebih kejam”, kataku
menjelaskan.
“Untuk mengadu
ilmu silat tanpa konsekuensi tersebut, dibuatlah aturan duel. Harus sama-sama
mau dan ada saksi dari masing-masing pihak. Jika tidak ada saksi, harus ada perjanjian
tertulis”, lanjutku.
“Kamu dulu
menyakitiku dengan alasan duel padahal itu bukan duel. Aku tidak mau
mempermasalahkan lebih lanjut, kuanggap urusan kita selesai disini. Paham?”,
tanyaku pada teman Agus. Temannya Agus menjawab iya dengan singkat dan pelan.
Aku pun berdiri melepaskannya dan membiarkan dia berdiri sendiri.
“Kalau
kalian?”, tanyaku pada yang lain. Mereka menjawab iya dengan suara datar dan
pelan.
“Kata guruku,
dunia persilatan bisa lebih kejam, bisa sampai cacat atau meninggal. Jika tidak
ingin terlibat lebih jauh dalam dunia persilatan maka jangan bertarung dengan
pesilat lain, apalagi jika bertarungnya bukan dengan aturan duel”, kataku
memperingatkan. Aku menyebut ayahku dengan kata guruku agar tidak ketahuan
bahwa yang mengajariku silat adalah ayahku. Aku menyadari bahwa pesan ayah yang
kusampaikan ke mereka tersebut juga merupakan pesan buatku.
Setelah aku
selesai menyampaikan pesan ayahku, mereka hanya diam melihatku dan Bunga. Aku
dan Bunga juga diam sehingga selama beberapa saat kami hanya diam saling
mengamati. Kemudian mereka pergi tanpa bicara apa-apa. Aku dan Bunga juga
meninggalkan tempat itu ke arah yang berbeda dengan mereka. Aku berjalan sambil
memegangi rusuk kiriku yang terasa sakit dengan tangan kanan, sehingga jalanku tidak
secepat biasanya.
“Rusuk kirimu
tidak ada yang patah kan?”, tanya Bunga mengkhawatirkan diriku, sambil berusaha
memapahku. Tangan kanannya merangkul badanku di bagian pinggang dan tangan
kirinya memegangi tangan kiriku yang sudah dia tarik dan dirangkulkan di
pundaknya.
“Aku bisa jalan
sendiri”, jawabku sambil melepaskan tangan kiriku dari pundaknya. Bunga pun
melepaskan tangan kanannya dari pinggangku. Dia memperlambat jalannya
mendampingiku.
Kami berjalan
sampai tempat pemberhentian angkutan umum. Bunga menemaniku sampai aku naik
angkutan umum. Dia menanyakan apakah aku kuat sampai rumah, apakah perlu dia
antar sampai rumah. Aku jawab bahwa dia tidak perlu mengantarku, aku kuat pulang
sendiri sampai rumah.
Sampai di rumah
aku langsung disambut ibu dan diperiksa lukaku. Untunglah tidak ada tulang yang
patah, hanya luka memar karena pukulan. Ibu lalu mengobati lukaku dan
menyuruhku beristirahat dan melarangku banyak bergerak. Menurut ibu dalam satu
hari kemungkinan lukaku sudah mendingan (membaik) seperti lukaku waktu pertama
kali dikalahkan temannya Agus. Aku kemudian menyadari bahwa lukaku ketika
berlatih tanding dengan ayah kemarin tidak separah ini. Berarti kemarin-kemarin
ayah menahan serangannya dan mengurangi kekuatannya ketika serangannya mengenaiku.
Malam harinya
aku menceritakan tentang pertarunganku tadi siang ke ayah dan ibu. Aku
menanyakan kepada ayah kenapa temannya Agus walaupun sudah terkena seranganku
tetapi seperti tidak terpengaruh. Apakah temannya Agus memang sangat kuat dan
tahan terhadap serangan? Karena aku yakin kekuatan seranganku tidak lemah.
Ayah
menjelaskan bahwa berdasarkan ceritaku, kemungkinan
besar temannya Agus adalah orang yang sudah sering merasakan sakit dalam
pertarungan sehingga dia terbiasa menahan rasa sakit
dalam pertarungan.
“Dari ceritamu,
kamu juga melakukan hal yang sama, yaitu menahan rasa sakitmu dan melanjutkan
pertarungan. Perbedaannya adalah bahwa lawanmu tidak menunjukkan rasa
sakitnya”, lanjut ayah menjelaskan. Aku hanya diam saja karena masih belum puas dengan penjelasan ayah.
“Kenapa kamu
memutuskan untuk menahan rasa sakitmu dan melanjutkan pertarungan?”, tanya
ayah.
“Aku merasa
masih bisa menang melawannya Yah”, jawabku singkat.
“Lawanmu juga berpikir begitu”, kata ayah yang kemudian melanjutkan penjelasannya.
Ayah mengatakan bahwa pertarungan dalam silat tidak seperti perkelahian
biasa dimana ketika sudah ada yang kena serangan, biasanya pertarungan
berhenti. Perkelahian pada umumnya adalah karena emosi sesaat sehingga ketika
sudah ada yang terkena serangan, baik penyerang maupun yang diserang langsung
menyadari bahwa tidak perlu dilanjutkan. Selama ini pertarunganku adalah
perkelahian biasa sehingga wajar jika aku kurang memahami duel. Apalagi duel
tadi adalah duel perdanaku.
Sebagaimana pernah ayah jelaskan bahwa ilmu silat adalah kemampuan
seseorang bertarung untuk mengalahkan atau bahkan melumpuhkan orang lain. Jadi pertarungan dalam dunia silat, kemenangan ditentukan dengan
kemampuan melumpuhkan lawan sampai menyerah atau tidak sanggup melawan lagi. Walaupun ayah pernah menjelaskan bahwa ilmu silat seseorang lebih tinggi
dari orang lain dapat dilihat dari jurus pihak mana yang lebih banyak
mengenai lawan dan seberapa besar daya hancurnya, namun sebelum
salah satu pihak menyerah atau tidak sanggup melawan lagi maka pertarungan
belum berakhir sehingga belum bisa disebut ada yang menang.
Misalkan seseorang punya 3 jurus, baru mencoba 1 jurus tapi sudah terkena
serangan atau bisa disebut jurusnya tersebut telah dikalahkan dengan jurus
lawan, namun secara tubuh masih bisa bertarung, tentu dia masih penasaran dan
masih ingin bertarung untuk mencoba jurus lainnya. Itu mirip yang terjadi
padaku. Aku terkena serangan temannya Agus dan merasa jurusku tidak mampu
mengalahkan temannya Agus, tapi aku merasa masih bisa melanjutkan pertarungan
karena masih ingin mencoba menggunakan jurus lain.
Sebagaimana
pernah ayah jelaskan bahwa inti dari pertarungan adalah mengalahkan
lawan, bukan tentang siapa yang dapat mengenai lawan lebih dulu. Tapi
bagi yang belum terbiasa bertarung, ketika sudah mendapat serangan yang
menyakitkan langsung merasa kalah. Itulah yang dulu kualami ketika pertama kali
dikalahkan oleh temannya Agus.
Bagi yang sudah
terbiasa bertarung dan tahu kemampuan tubuh sendiri, bisa mengukur kira-kira
terkena serangan seperti apa yang masih bisa melanjutkan dan yang sudah tidak
bisa melanjutkan. Itulah yang dilakukan temannya Agus ketika terkena
seranganku, walaupun sakit tapi tidak menunjukkan sakitnya dan meneruskan
pertarungan. Bahkan setelah tahu tingkat sakit yang akan diterima, sengaja
menerima serangan untuk bisa menyerang dan mengenai lawan. Tetapi ada juga yang
walaupun terkena serangan yang menyakitkan masih melanjutkan pertarungan. Bisa jadi karena dia tidak memahami lukanya
sendiri atau memang nekat. Alasan nekat bisa karena
pertarungan hidup dan mati yaitu pertarungan yang jika dia kalah
atau berhenti melawan akan berakibat lebih buruk atau bahkan meninggal, sehingga walaupun sudah sakit parah masih melanjutkan pertarungan. Oleh karena itu ayah melatih dengan tantangan 10 menit agar
aku terbiasa terkena serangan. Tapi ayah menahan serangan dan tenaganya
sehingga luka yang kuderita tidak sampai parah.
“Wajar jika kamu masih kurang paham karena ini adalah duel pertamamu.
Untuk selanjutnya jika ada yang menantangmu duel atau bertarung secara dunia
persilatan kamu jadi lebih hati-hati”, kata ayah mengakhiri penjelasannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar